Ventura 02

Sambungan dari bagian 01

BAB IV

Kerumunan orang itu menjadi ramai ketika Ferry dan Kim tiba.
"Woy, Boss datang." Ferry melangkah turun dari macannya dan menebarkan senyumnya ke arah kerumunan orang itu.
Seorang lelaki kurus mendekatinya sambil berseru, "Gila nih, habis bercinta di mana..?"
Lelaki itu merasakan kepalanya terdorong maju dan tubuhnya limbung.
"Bercinta kepalamu." Kim tertawa menyaksikan lelaki itu berusaha menyeimbangkan tubuhnya.
Naryo tertawa juga melihat bibir Kim yang meruncing, "Kirain."
Kim mendekatinya, dan Naryo kali ini berhasil menghindari ayunan lengan itu.

"Sudah, sudah." Ferry tergelak melihat kekonyolan teman-temannya.
Kim mendekati Anya yang langsung memeluknya.
"Kim, si Donny kemarin garapanmu ya..?"
Kim hanya tersenyum, "Oh, bukan. Garapan si Ferry."
Ferry menggerakkan lengannya menyapu udara.
"Kalau kalian saksikan cara Kim mengayunkan potongan kursi itu. Wah."
Lima belas orang anak muda itu langsung tertawa berbarengan. Kemeriahan itu hanya ada bila Kim ada di antara mereka. Kalau hanya ada Ferry, mereka justru merasa sedikit seram dan kaku. Dan mereka tahu, hanya Kim yang mampu menjinakkan Boss mereka.

"Siapa tuh..?"
Ina menoleh ke arah lirikan Kim. "Oh, itu anak pindahan."
Kim memandangi tubuh kurus lelaki berambut panjang itu dengan seksama.
"Katanya sih, dari Surabaya." Anya membisiki kupingnya.
"Keren juga." bisik Kim menunjukkan raut wajah tertarik.
"Kim, si Boss ngeliatin, tuh. Awas cemburu melambai."
Kim menatap Ferry di kejauhan den menjulurkan lidahnya.
"Biar saja, emang gua pikirin."
Ina tertawa. Anya menyikut rusuk Ina, ketika Kim bangkit berdiri dan mendekati lelaki itu.

"Bisa pinjam korek..?"
Lelaki itu menoleh, menatap gadis di belakangnya. Sejenak lelaki itu merasa rokoknya hampir terlepas dari bibirnya.
"A.. ada." ucapnya tergagap-gagap.
Kim tersenyum saat lelaki itu menyalakan zippo-nya.
"Thanks." ucapnya dan berlalu, meninggalkan si lelaki gondrong yang masih terpana seakan baru saja didatangi bidadari surga.
"Pin..? Hoi."
Lelaki itu menoleh, melihat temannya yang nampak sedikit gugup."Huh..?" ucapnya singkat, sebelum matanya menatap kembali ke arah bidadari barusan yang kini juga menatapnya bersama teman-temannya.

Sebuah lengan menepuk bahunya. Papin melihat sosok tinggi besar yang berdiri tersenyum di sebelahnya yang menunjuk ke arah zippo-nya yang masih menyala.
"Eh..?"
"Minta apinya." orang itu berkata pelan.
Papin menyodorkan zippo-nya yang masih menyala.
"Jangan lupa ditutup. Nanti cafe-nya terbakar." seloroh orang tinggi besar itu. Papin memandangi orang itu yang melangkah menuju ke arah bidadari tadi.
"Aku berusaha mengatakannya kepadamu."
"Ah..? Apa..?" Papin menoleh ke arah temannya yang kini sudah mengeluarkan keringat dingin.
"Kenapa..?" tanyanya.

"Anak pindahan."
Kim menatap berang ke arah Ferry yang sudah mengambil posisi bersila di sebelahnya, "Lalu, kok ada bau intimidasi..?"
Ferry memandangnya dan hanya tertawa. Ina dan Anya ikut tertawa geli menyaksikan Ferry dan kecemburuannya. Kim mengomel dan menusuki roti bakar di depannya dengan gerakan berulang-ulang. "Hanya informasi situasi." Ferry berkata pendek di dekat telinga Kim dan beranjak kembali menuju teman-temannya di seberang.
Kim sempat melihat lelaki gondrong itu melirik dan tersenyum kepadanya, sebelum memalingkan wajahnya ketika Ferry melintas dengan sedikit menggeram. Ketiga cewek itu tertawa bersamaan melihat reaksi si lelaki gondrong yang terlihat gugup.

BAB V

Kim sedang menikmati lantunan musik melalui walkmannya ketika telpon di ruang tamu berdering.
"Hallo..?"
"Kintan..?"
"Yow. Siapa ini..?"
"Donny."
Ah, si Donny. Ada apa lagi dengan anak ini, tanya Kim dalam hatinya.
"Aku ada di depan, bukain pintu. Aku ingin cerita sesuatu. Masalah Maya."
"Oh. Baiklah." Kim menutup gagang telepon, melangkah menuju pintu.

Tangan itu menutup mulutnya dan membantingnya ke sofa.
"Aduh," Kim mengerang saat kepalanya menyerempat tembok, "Apa-apaan ini?"
Donny melihat ke arah gadis itu, matanya menyala-nyala penuh kebencian. Kim melihat beberapa orang lelaki lain berdiri di belakang Donny. Wajah-wajah itu tak pernah dilihatnya sebelumnya. Itu..

Salah serang lelaki melangkah mendekat, Kim mencoba berdiri dan menghindar, namun gerakan lelaki itu begitu cepat. Lelaki itu merangkul tubuhnya dan menindihnya di atas sofa, menduduki kaki Kim dengan berat tubuhnya. Donny berjongkok, mendekatkan bibirnya di wajah si gadis.
"Kamu tahu berapa cewek yang lenyap di Malang setiap minggu..?" desisnya.
Lelaki-lelaki di belakangnya dan tertawa ketika melihat raut wajah ketakutan yang memancar dari gadis itu.
"Kamu. Kamu mau apa..?" ucap Kim berusaha menenangkan hatinya.
Lelaki yang menduduki kakinya tertawa, "Memperkosamu, membunuhmu dan membuangmu ke balik semak-semak."
Kim menjerit tertahan. Donny dan lelaki-lelaki lain di belakangnya tertawa-tawa saat menyaksikan tangan kekar lelaki yang menindih tubuh gadis itu bergerak dan memutus kancing baju si gadis, memperlihatkan tonjolan buah dada yang putih mulus tanpa cacat. Kim mengerang dan berusaha meronta ketika lengan lelaki di atasnya menarik branya dan membuat payudaranya menyembul keluar.

"Jangan..!"
Kim merasa sekujur tubuhnya melemas ketika tamparan lengan kekar itu mengenai pipinya. Kim merasa pandangannya menjadi nanar, ia hanya bisa mengeluh pelan ketika tangan si lelaki di atasnya menarik celana pendek yang dikenakannya dan meremas-remas kemaluannya. Donny dan empat orang lelaki lainnya menyaksikan dengan penuh gairah.
"Ji, jangan lama-lama." salah seorang di antara mereka berseru.
Wiji tersenyum dan menggeram, mengeraskan pijatannya pada kemaluan gadis di bawahnya. Kim menjerit tertahan. Wiji menampar pipi si gadis sekali lagi, membuat kepala Kim terlempar ke samping.

Lelaki itu menarik celana dalam Kim melewati pahanya, kawan-kawannya berseru tertahan menyaksikan keindahan di depan mata mereka. Wiji mendecak kagum, menundukkan kepalanya dan menghisap puting payudara Kim dengan bernafsu, sementara tangannya merogoh dan menggesek liang vagina si gadis dengan jari tengahnya. Kim mengerang, kepalanya terasa pening. Seorang di antara gerombolan itu memegangi tangannya yang terangkat, menahannya dalam posisinya. Kim merasa sangat ketakutan di sela nanar matanya dan kepeningannya. Ketakutan yang wajar bagi seorang gadis yang akan mengalami kejadian yang lebih mengerikan daripada kematian sendiri. Kim mengeluh pasrah, rontaannya tidak membawa hasil. Donny menjulurkan lengannya dan meremas-remas payudara Kim dalam genggamannya. Wiji dan teman-temannya tertawa melihat geliat Kim saat Donny menundukkan kepalanya dan menjilat pusar si gadis. Kim merasa segalanya menjadi gelap.

"Ah, anak-anak Bungurasih ada di sini, rupanya. Kupikir tadinya hendak menyapa kalian begitu melihat sepeda motor plat L yang sangat kukenal di depan."
Donny dan gerombolannya menoleh ke arah pintu, melihat seorang lelaki kurus yang bersandar di daun pintu dan menyalakan rokok di ujung bibirnya.
"Batak..?" Wiji terdengar berseru tertahan.
Donny menatap keempat temannya yang lain yang juga terbelalak menyaksikan sosok kurus itu.

Lelaki kurus itu membuka topi SOX-nya dan membiarkan rambutnya terjurai di sisi bahunya. Matanya menatap tajam ke arah keenam lelaki di depannya, dan mendengus saat melihat gadis yang terpejam di atas sofa.
"Batak, kan..?" Wiji mengangkat tubuhnya dan mendekati si lelaki kurus, mengulurkan tangannya.
Lelaki kurus itu hanya menghembuskan asap rokok dari ujung bibirnya, tidak menunjukkan reaksi atas jabatan tangan yang terjulur di depannya, "Wiji, Johan, Rawit, Kemang, Putut, dan.."
Lelaki kurus itu menujuk tiap orang yang ada di situ dengan lirikan matanya. Donny merasakan keheningan teman-temannya, "Aku Donny."
"Ah, Donny. Dan kamu pasti anak Malang."
"Benar."

Lelaki kurus itu melangkah mendekati gadis yang masih tergolek tak berdaya di sofa. Tangannya terjulur, membetulkan letak baju si gadis. Donny memandang kebingungan ke arah teman-temannya yang hanya terdiam menyaksikan kejadian itu.
"Kamu siapa?" tanyanya sedikit keras.
Wiji memegang pundaknya. Donny menoleh dan melihat Wiji menggelengkan kepalanya.
"Mereka memanggilku Batak." lelaki itu mendesis tanpa menoleh.
Lelaki kurus itu bangkit berdiri, menatap Donny dengan matanya yang tajam.
"Berapa kamu membayar mereka..?"
Donny terhenyak merasakan tajamnya mata lelaki itu.
"Aku.. aku.."

Kepalanya terangkat dan tubuhnya terlempar menubruk dinding ketika telapak sepatu lelaki kurus itu menghantam rahangnya dengan gerakan di luar dugaan siapapun di ruangan itu.
"Aku tak suka ini." lelaki kurus itu menghela nafas.
Wiji dan teman-temannya hanya menatap diam ketika pandangan lelaki kurus itu menyapu perasaan kagum mereka akan gerakan si lelaki kurus saat mengangkat kakinya lurus di atas kepalanya.

"Tak.. ini.. kami.." Rawit bergumam lewat giginya yang tonggos.
"Bawa anak ingusan itu pergi dari sini."
Kelima orang itu hanya terdiam mendengar perintah itu. Mereka ragu-ragu.
"Ji, kamu masih ingat rasanya patah kaki..?" lelaki itu mendesis.
Wiji, yang agaknya kepala rombongan itu mengeluarkan keringat dingin dari pelipisnya. Kepalanya bergerak ke samping. Keempat lelaki lainnya tergopoh-gopoh mengangkat tubuh Donny yang mengucurkan darah dari mulutnya.
"Aku tak ingin berita ini keluar dari ruangan ini." seru si lelaki kurus.

Lelaki kurus itu menunggu sampai gerombolan orang itu pergi, menutup pintu dan menghela nafasnya dalam-dalam.
"Bahkan di sini kegelapan belum melepaskanku." desisnya lirih.
Lelaki itu membalikkan tubuhnya, menatap si gadis yang masih tergolek lemah, lelaki itu merasakan ketakutan dari bahu si gadis yang sedikit bergetar dan alis matanya yang berkerut. Lelaki itu menarik taplak meja, menutupi bagian tubuh si gadis yang terbuka, melangkah ke pintu, mengunci pintu itu dari luar dan melemparkan kuncinya ke dalam lewat celah jendela, berikut selembar kertas yang terlipat.

"Bidadari yang bodoh," senyumnya sebelum memasang lagi topi SOX-nya dan meninggalkan tempat itu.

BAB VI

Ina memeluk tubuh Kim dan berusaha menenangkan sahabatnya. Anya membaca lipatan surat itu, menghela nafasnya dalam-dalam.
"Kim," ucapnya, "Bagaimanapun kalau Ferry tahu.."
Kim mengangkat kepalanya, membiarkan lengan Ina menghapus air mata yang mengalir di pipinya, "Jangan. Kasihan Maya."
"Maya lagi. Maya lagi." Ina mengomel di sebelahnya, "Kamu lihat kan apa yang dilakukan Donny kepadamu..? Masih juga memikirkan Maya..?"
Kim terdiam, pikirannya terasa kacau.
"Ya sudahlah," Anya berkata, "Kalau memang maumu seperti itu."

Ina menatap lembaran kertas di tangan Anya yang bertuliskan 'JANGAN' itu dengan seksama.
"Siapa ya orang yang menolongmu..?"
Kim mencoba mengingat apa yang terjadi, namun semuanya terasa samar.
"Batak," desisnya lirih, "Namanya Batak."
"Batak,?" Anya bertanya bingung.

Ina bangkit berdiri, membukakan pintu. Anya menahan tubuh Kim yang berusaha bangkit dari atas sofa.
"Ada apa lagi, Bangsat..?" Ina mendesis sambil menatap wajah lelaki di depannya.
Donny hanya menunduk, tidak berani melangkahkan kakinya masuk. Kim melihat Anya menganggukkan kepalanya.
"Masuklah, Don." ucapnya lirih tanpa menoleh.
Ina membiarkan Donny melangkah masuk. Donny langsung menjatuhkan dirinya dan berlutut di atas kedua lutunya.
"Aku mohon maaf."
Ketiga gadis itu menatap bingung.

"Kami juga."
Kim menoleh ke arah pintu. Anya dapat merasakan getaran di bahu sahabatnya. Lima orang yang barusan datang langsung masuk tanpa basa-basi, berlutut dan mengucapkan 'maaf' berbarengan. Ketiga gadis itu semakin heran. Kim lebih dahulu menyadari apa yang terjadi. Gadis itu tersenyum, membingungkan kedua sahabatnya.

"Baik. Aku maafkan kalian. Lain kali, aku akan membunuh kalian atas perbuatan kalian." ucap Kim tegas.
Keenam lelaki itu menganggukkan kepala mereka dan keluar dengan masih merangkak di atas lutut-lutut mereka. Anya dan Ina menatap dengan penuh keheranan, sementara Kim hanya tersenyum penuh arti. Begitu orang terakhir keluar, Kim mendadak bangkit dan mengeluarkan kepalanya dari jendela. Kim sempat melihat bayangan sosok lelaki kurus berambut panjang itu mengangkat topinya di kejauhan dan membungkukkan tubuhnya seperti bangsawan abad pertengahan. Kim tersenyum, melambai dan berseru, "Terima kasih, Batak..!"

Sosok lelaki kurus di kejauhan itu menyalakan mesin sepeda motor di sebelahnya dan berlalu, diikuti keenam lelaki sebelumnya.
"Siapa sih dia..?" Ina bertanya di samping sahabatnya.
"Iya, siapa sih..?" Anya menimpali.
Kim tersenyum dan mendesah.
"Pahlawanku."
Ina dan Anya saling menatap dengan bingung.

Bersambung ke bagian 03