Irwan 4 : Pembalasan Yang Sempurna, Pembalasan haruslah berseni dan nikmat...!!!

Aku sudah lulus SMA, baru saja masuk kuliah pada jurusan Ekonomi di salah satu Universitas Swasta ternama di Jakarta. Walau untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, papaku akan membiayai dan juga mama memaksa, namun aku tidak mau. Di Indonesia juga bagus, semua tergantung dari kita sendiri, luar negeri tidak menjamin, lagipula mana mau aku meninggalkan mama.

“Ahhh…..Sssshhh…Oohhh….”
“Terusss yanggg….Aaawww…dikiit lagi...”
”Yesss....yessss.....Ahhhh...”

Mama mengejang dan mengalami orgasme, sedangkan aku tetap memompakan tongkolku dengan cepat dalam lobang memiawnya. Tetek besar tersebut bergoyang seiring sodokanku pada memiaw mama. Makin menambah semangatku, akhirnya 5 menit kemudian akupun terkulai lemas setelah mengeluarkan spermaku. Kami lalu berciuman mesra sebelum berbaring memulihkan stamina. Hari ini adalah hari Minggu, masih pagi, jadi karena tidak ada kegiatan, aku dan mama bersantai saja, memulai hari dengan permainan seks yang nikmat. Tubuh mama yang saat ini berusia 39 tahun, makin terlihat matang dan makin seksi saja. Tanpa terasa hampir 4 tahun aku dan mama berhubunganm namun gairah kami tidak pernah berkurang, makin bertambah setiap kali melakukannya. Lagi santai berbaring, terdengar HP mama berbunyi, mama mengangkat Hpnya melihat siapa yang menelepon, bergumam tidak kenal nomornya, namun tak urung menjawabnya.
Kuperhatikan raut mama berubah menjadi serius, dan menjawab singkat – singkat lawan bicaranya. Mama mematikan HP-nya, lalu menatapku.

”Dari istri papamu.”
”Apa...ngapain nelepon mama, mau ganggu mama..??? Biar Irwan hajar dia.”
”Sabar dulu Wan, Papamu masuk rumah sakit, katanya kena stroke.”
”Terus apa hubungannya sama kita...??”
”Ya, kayaknya sih parah, jadi kamu harus menengok papamu.”
”Ah...malas ah, mama kan tahu, Irwan sebeeel banget sama dia.”
”Iya, mama tahu, tapi kamu harus datang, Wan. Biar gimanapun dia papa kamu.”
”Baik, tapi mama ikut....”
”Baiklah, nanti Runah Sakit dan ruangannya akan di SMS ke mama.”

Lalu kami segera bangun, menuju ke lantai bawah, sarapan dulu, lalu pergi mandi ( tentu saja sekali lagi aku menyodok mama ), berpakaian dan bersiap ke Rumah Sakit.

Memang aku tidak akan pernah bisa memaafkan papaku atas perbuatannya sama mama. Tidak pernah kupahami mengapa si tolol itu memilih meninggalkan mama untuk menikahi pelacurnya ( istilah favouritku untuk istrinya tersebut ) yang lebih muda 20 tahun darinya. Memang dia tetap membiayai aku dan kakakku, juga terkadang mengajak aku atau kakakku pergi, namun aku tidak pernah merasa senang. Bagiku istilah papa hanya sebutan saja, tinggal formalitas secara akte hukum saja, bahwa dia adalah ayah kandungku, tidak lebih dari itu. Ikatan emosiku sudah mati saat dia menceraikan mamaku. Kuingat pernah sekali dia mencoba mengakrabkan aku dan kakakku dengan istri barunya ( kejadiannya tak lama setelah papa kawin lagi ). Seperti biasa kadang dia mengajakku dan kakakku jalan entah makan atau ke mall. Dia jemput kami di rumah, saat kami masuk ke mobilnya, ada seorang wanita di dalamnya. Dalam perjalanan papa bilang ini istrinya, dan memperkenalkannya pada kami, namanya Vera, lalu papa bilang kami bisa memanggilnya mama Vera ( Tolol sekali dia kalau mengira kami mau memanggil wanita itu dengan sebutan’mama’). Lalu aku dan kakakku sengaja bercakap di depan mereka...

”Kak Erni, mama kita hanya satu kan, mama Susan.”
”Iya, Wan, memangnya kenapa....???”
”Nggak lucu saja, papa minta memanggil perempuan kayak gini dan kita nggak kenal dengan sebutan mama..”
”Iya, betul juga ya Wan. Panggilnya apa dong....??”
”Iya, terserahlah, mau tante, mbok, mbak, neng atau apa saja, asal jangan mama.”
”Ya sudah, kita nyebutnya tante saja deh Wan.”

Lalu aku dan kakak tertawa, sedang kedua orang di kursi depan mobil diam membisu. Raut wajah Papa nampak marah, namun tak bisa apa – apa karena memang ini salahnya Acara saat itu berlangsung dingin, dan sejak saat itu papa tidak pernah mengajak perempuan itu saat pergi dengan aku atau kakakku.

Tak lama kami tiba di rumah sakit. Segera menuju ruang ICU, di depan ruang ICU kulihat ada Om Dedi dan Tante Rika, adik – adik papaku. Segera aku salami mereka, mama juga menyalami mereka dan menanyakan situasinya. Nampaknya papaku terlalu sibuk bekerja, ditambah pola makan dan istirahat yang tidak seimbang juga stress karena pekerjaan, kesehatannya kurang terjaga, tiba – tiba saja pagi tadi mengalami stroke secara mendadak, juga dari hasil pemeriksaan ditemukan bahwa kondisi jantungnya agak terganggu. Kini sedang ditunggui oleh tante Vera, istrinya. Sampai saat ini mereka belum dikaruniai anak. Aku hanya diam sambil berpikir, harga yang mahal untuk sebuah kesuksesan, memang usaha papaku maju dan berhasil, tapi bukan berarti harus tidak punya waktu menikmati hidup kan...??? Tak lama pintu ruang ICU terbuka dan kulihat tante Vera keluar, wajahnya kuyu dengan mata sembab, agak terkejut dengan kehadiran kami, lalu menghampiri kami, karena aku yang terdekat menyalamiku dahulu, lalu agak ragu dan canggung waktu mau menyalami mamaku, namun mama dengan anggun menjulurkan tangan mengajak bersalaman. Suasana agak kaku, lalu suara Om Dedi terdengar...

”Sebaiknya kalian melihat ke dalam dulu.”

Aku dan mama segera mengenakan pakaian khusus, lalu segera masuk, kulihat papa sedang tertidur, dengan beberapa selang dan kabel terpasang di hidung dan tubuhnya. Beberapa mesin dan monitor terlihat di samping ranjang. Wajahnya memang sangat pucat dan jauh lebih tua dari usianya saat ini, 51 tahun. Aku agak terkejut melihat wajahnya, karena memang sudah kama tidak bertemu. Sedang wajah mama tampak tanpa ekspresi, datar saja. Lama kami hanya diam saja melihat papa. Lalu mama menggamitku mengajakku keluar.

Sesampainya di luar mama kembali bercakap – cakap dengan Om Dedi dan Tante Rika, sedang tante Vera memilih duduk agak jauh, diam saja. Aku memilih berdiri saja agak jauh dari mereka menyaksikan mama yang sedang bercakap – cakap. Tak lama kemudian mama memanggilku, aku menghampiri...

”Wan, kalau dilihat dari kondisi papamu, mungkin akan perlu waktu lama dirawat..”
”Iya, Irwan tahu lalu kenapa, ma..”
”Tadi Om Dedi dan tante Rika sudah berbicara dengan mama, kalau untuk yang menjaga, tante Rika bisa saat siang dan sore, Om Dedi juga bisa sesekali jaga malam hari. Is tri nya..., ” dingin banget suara mama saat mengucapkan kata istrinya tersebut....”tentu saja bia menemani menjaga. Namun tetap butuh istirahat. Jadi nanti mereka mengharapkan kamu bisa sesekali menginap malam atau jaga saat siang. Nggak perlu tiap saat, kamu tinggal menelepon Om atau tante kamu atau si Vera itu untuk mengatur waktunya.”
”Wah...gimana ya ma...”
”Wan, kamu harus mau, biar gimana itu papa kamu.”

Aku yang memang tidak punya pilihan hanya mengangguk, Tidak lama kemudian mama dan aku pamit, Om Dedi bilang aku nggak perlu jaga dahulu, nanti saja kalau sudah dipindaj kamar. Dalam perjalanan pulang kami hanya diam saja, mama kulihat mengambil Hpnya dan menelepon kak Erni, mengabarkan yang terjadi, sambil menanyakan ( sedikit maksa ) apakah kak Erni bisa datang menengok untuk satu atau dua hari. Lalu mama mematikan Hpnya dan menyuruhku mengarahkan mobil ke restaurant kesukaanku, makan dulu.

Besoknya aku kuliah, pulangnya agak cepat, belum jam 12 aku sudah sampai rumah. Baru saja aku masuk sudah kudengar suara cerewet...kak Erni sudah tiba rupanya sedang nonton TV. Aku kecup pipinya.

”Heiii jelek, kok sudah pulang, nggak kuliah ya...?”
”Enak saja, memang pulangnya cepat hari ini. Kapan sampai kak..???”
”Tadi jam 9an, mama sudah kutelepon. Malas sih sebenarnya, tapi mama maksa.”
”Ya sudah turuti sajalah kak.”
”Kamu belum makan kan...?? Sana bersih – bersih dulu, ganti baju, kakak masakin deh. Entar mau pergi jam berapa...???”
”Sore saja ya kak perginya. Masak yang enak ya kakakku sayang.”

Aku segera ke kamar mandi bersih – bersih, ganti baju, lalu turun ke bawah, kulihat kakakku sedang membuka kulkas dekat meja makan, agak membungkuk mencari bahan makanan, terlihat CDnya dari dasternya yang pendek melihatnya jadi timbul pikiran nakalku. Aku segera menghampiri dan meremas pantatnya. Kakakku memiawik, lalu membalikkan badan sambil tertawa.

”Jahil amat sih kamu...”
”Salah sendiri....kenapa mamerin anggota tubuh...lagian Irwan kangen nih...”
”Iya..kakak juga, tapi sabar dong, kan sekarang kakak mau masak dulu...”
”Sudah nanti saja deh masaknya...sekarang ada yang lebih penting.”
”Huh dasar kamu, nggak sabaran ya....”

Segera kutarik tubuh kakakku, menutup kulkas, lalu segera kuciumi bibirnya dengan ganas, kakak membalasnya, lidah kami bertautan dengan cepat. Tanganku meremas tetek besarnya sementara tangannya meremas tongkolku. Segera saja kulepaskan dasternya, juga aku lepaskan kaos dan celana pendekku, lalu tubuh kakak kuangkat dan kubaringkan di atas meja makan yang kosong. Sedang aku masih berdiri di sampingnya. Aku segera menyerbu tetek besarnya, meremas – remas dengan tanganku dan melumatnya dengan mulutku, kumainkan dan kuhisap putingnya. Sementara tangan kak Erni mulai meraih tongkolku, dikocok – kocoknya, lalu diarahkan ke mulutnya, lidahnya mulai menjilati kepala tongkolku, lalu batangnya dan biji pelerku dia jilati dan dia kulum, dihisapnya dengan ringan dan lembut. Lalu dia mulai mengulum dan menghisap tongkolku. Aku yang masih sibuk menghisap putingnya juga tak mau tinggal diam, jariku segera menuju ke arah selangkangannya, ku mainkan itilnya dan kusodok lobang memiawnya dengan jariku. Tubuh kak Erni menggeliat keenakkan. Kulumannya pada tongkolku masih tetap seperti biasa perlahan namun mematikan, dengan jilatan lidah yang terus bergerak menggelitik saraf – saraf sensitifku. Masih dengan tongkolku tetap dikulum, aku ikut menaiki meja, posisi 69. kini lidahku mulai bergerilya menjilai memiawnya yang sudah basah, kusapu lobang memiawnya dengan lidahku, lalu segera kumainkan itilnya yang besar dan menonjol dengan gemas. Kupilin – pilin dan kulumat dengan lidahku, makin membuat kakakku kelojotan. Jariku kembali ikut berpartisipasi menyodok lobang memiawnya, makin sering saja kak Erni menggeliatkan pinggulnya. Kurasakan pula hisapan pada tongkolku makin kuat dan mencengkram...Oughhh enak banget. Sebagai kompensasinya, itil kak Erni kini hanya pasrah saja menerima permainan lidahku yang makin cepat dan ganas. Sesekali terdengar desahannya, badannya terus menggeliat dan akhirnya mengejang saat menyemburkan cairan orgasme.

Aku lalu segera turun, berdiri di depannya, kutarik kakinya, memiawnya kini berada di pinggir meja. Kulebarkan kedua kakinya dan kuangkat ke atas dengan kedua tanganku, lobang memiawya terlihat melebar, siap menerima hujaman tongkolku, segera saja kumajukan pantatku ke depan, dan Blessss....amblaslah seluruh tongkolku ke dalam lobang memiawnya, membuatnya bergetar, Tanpa basa basi lagi segera kupompa tongkolku dengan cepat, desahan dan rintihannya makin kuat, tetek besarnya bergoyang – goyang indah karena sodokan tongkolku yang cepat dan kuat, kakinya kini kukaitkan di kedua bahuku, sehingga tanganku kembali bebas dan segera meremas teteknya. Pinggulnya tak tinggal diam mengimbangi, aku sodok sedalam mungkin, kucondongkan badanku memnciumi bulu keteknya yang agak jarang, lalu kujilati lehernya, kak Erni menggelat geli – geli nikmat.

”Ughhh...enaaakkkk...Wan....Enaakk...Auwwww...”
”Yang Cepaaaatt....Wan.....Ohhh...”
”Terussss...Oohhhhh...Yessss...”

Kembali kak Erni mengalami orgasme. Aku lalu naik ke atas meja makan, berbaring, kak Erni kusuruh ke atasnu, membelakangiku, badannya condong ke belakang, tanganya ke arah belakang, bertumpu di meja, kakinya posisi jongkok di atas tongkolku, dengan perlahan kak Erni menurunkan pinggulnya, Jleeeebbb....dengan sempurna lobang memiawnya menemukan tongkolku, dan ia pun mulai menggoyangkan pinggulna naik turun, tanganku dari belakangpun mulai meremas teteknya dan memainkan putingnya. Kunaikkan kepalaku sedikit, untuk menciumnya. Lama kami bermain dalam posisi ini, lalu kak Erni memajukan badannya kin dalam posisi jongkok sempurna, kembali menaik turunkan pinggulnya, aku mengimbangi dengan juga menggoyangkan pinggulku mengikuti iramanya. Sambil memainkan pinggulnya, tangan kak Erni mulai memainkan itilnya sendiri. Tangannya yang satu lagi sibuk meremas dan mengurut biji pelerku. Aku masih berbaring, menikmati saja kenikmati ini, sesekali mataku merem melek keenakkan. Tak berapa lama kurasakan denyutan enak di tongkolku, dan juga kulihat badan kak Erni mulai bergetar.....Crooottt...crooottt, spermaku menyembur tanpa ampun berbarengan dengan orgasmenya. Kak Erni hanya diam masih berjongkok di atas tongkolku yang masih menancap pada lobang memiawnya, kurasakan cairan mengalir membasahi batang tongkolku. Kami terdiam menikmati sensasi orgasme kami. Lalu kak Erni mencabut tongkolku, menjilat dan membersihkan sisa sperma di tongkolku

”Ugh....nggak bisa tunggu nanti ya kamu Wan...”
”Hehe...kakak juga mau kan, ya hitung – hitung ucapan selamat datang...”
”Ih konyol...sekarang kamu bersihin ya, terus bantu aku masak.”

Lalu kami berdiri, aku sempat mengecup pipinya, kubersihkan meja makan, lalu ke kamar mandi. Mencuci tongkolku, berpakaian dan segera membantu kakakku. Sorenya mama pulang dan memilih tidak ikut pergi. Jadilah aku dan kakak saja yang pergi. Setibanya di sana hanya ada tante Rika, Tante Vera sedang pulang istirahat. Kak Erni menyalami dan mencium pipinya, berbasa – basi sejenak, lalu bersamaku melihat papa. Kesehatannya belum ada kemajuan, tapi kondisinya sudah lebih stabil. Cukup lama kami di situ, tante Vera sudah datang kembali, kak Erni hanya menyalami saja. Tak lama Om Rudi datang, menyalami kak Erni, berbincang – bincang dengan kami, dia akan nginap di RS menjaga papa, katanya aku nanti saja giliran jaganya, minggu ini biar dia dan tante Vera saja. Akhirnya aku dan kak Erni pamit pulang, tante Rika menanyakan apakah bisa ikut, kami iyakan, setelah mengantar tante Rika ke rumahnya, kamipun pulang.

Malamnya aku menggarap kak Erni habis – habisan, kebetulan mama sedang datang bulan, untung ada kak Erni, jadi ada penggantinya hehehe. Besoknya juga aku tidak kuliah dan memilih menghabiskan waktu bersetubuh dengan kak Erni. Kak Erni menginap 3 hari, tiap hari menengok dan melihat kondisi papaku. Juga menghabiskan waktu di rumah dengan ’kegiatan panas’ denganku, hampir di mana saja, di sofa, di dapur, kolam renang, kamar mandi, pokoknya puas – puasan deh. Setelah 3 hari karena kondisi papa sudah stabil dan karena juga kegiatan kuliah kak Erni kembali ke Bandung, aku antar ke stasiun, menunggu keretanya berangkat lalu pulang.

Hari ke 4 kondisi papa membaik, sudah siuman, namun belum bisa bicara namyak, karena stokenya, kata dokter mungkin sementara waktu papa akan memakai kursi roda, karena anggota tubuhnya pinggang ke bawah jadi lemah. Juga syaraf di sekitar mulutya jadi agak kaku, belum bisa normal bicara, dan harus diterapi. Dokter juga memutuskan mengobati dan memantau kondisi jantungnya. Dokter memutuskan bahwa kondisi papa sudah cukup stabil dan baik untuk dipindahkan, jadi diputuskan menempatkan papa ke ruang VIP (Biayanya kan ditanggung perusahaannya sendiri ). Para direksi dan karywannya juga mulai datang menjenguk. Sedang mama belum datang lagi.

Siang itu ada panggilan masuk ke HP-ku, nomornya tak kukenal, ternyata dari tante Vera, mula – mula canggung bicaranya, katanya malam ini apakah aku bisa menemani menjaga papaku. Aku jawab bisa dan dia bilang nanti aku datang jam 9 malam saja. Aku iyakan dan menyudahi pembicaraan. Lalu aku save nomornya, biar gampang kalau ada perlu nanti.

Malamnya aku datang, papa sudah dipindahkan ke kamarnya, kulihat dia sebentar, sudah siuman, namun belum bisa bicara, nampak matanya agak bersinar bahagia saat melihatku. Tanganya lemah memegang tanganku. Aku hanya tersnyum saja, sambil mengatakan pelahan bahwa waktu papa masih koma, mama dan kak Erni sudah menjenguk, papa hanya mengangguk lemah. Lalu aku duduk menonton TV di sudut kamar. Hanya ada tante Vera, sedang merapikan selimut papaku, lalu menghampiriku dan duduk di sofa di dekatku. Mencoba membuka percakapan dengan canggung.

”Ma..maaf sudah merepotkan kamu ya Wan.”
”Ah tidak mengapa, toh ini kan papaku juga.”
”Kamu sudah makan..??”
”Sudah...tante sendiri, jangan sampai nanti malah ikut sakit.”
”Sudah tadi di kantin RS.”
”Tante kalau memang capek, pulang saja, istirahat dulu, biar Irwan yang jaga.”
”Nggak...nggak apa,Wan. Kan bisa istirahat di sini.”

Lalu kami kembali diam, aku kembali menonton TV, tante Vera mengambil majalah dan membacanya. Memang benar sih, dia bisa istirahat di sini, karena ini kamar VIP jadi lebih bebas, kulihat ada kasur kecil juga di dekat sofa ini, mungkin memang buat keluarga yang menunggu. Sesekali aki meliriknya, wajahnya sudah jauh lebih segar dari saat hari pertama papa masuk RS. Mungkin baru kali ini, aku berkesempatan mengamati dirinya selama aku kenal dia. Saat ini usianya kalau aku tidak salah sekitar 30 atu 31, wajahnya juga memang harus kuakui cantik, lalu perlahan mataku mulai mengarah ke tubuhnya, baru kali ini aku bisa menilainya, teteknya juga berukuran besar, dengan lekuk tubuh yang seksi pula, pantatnya besar, tingginya juga cukup tinggi untuk ukuran wanita. Namun hanya sampai situ saja aku menilai, itu juga karena memang baru kali ini aku berkesempatan menilainya. Lagipula dia kan wanita yang membuat papa meninggalkan kami. Tanpa sadar rasa benci dan sakit kembali menusuk dadaku. Aku segera memusatkan perhatianku pada TV. Sekitar jam 12-an aku bilang mau ke depan cari udara segar dan makanan, menawarkan juga kalau dia mau, juga berpesan kalau ada apa – apa atu perlu telepon saja HP-ku, lalu aku keluar.

Di luar aku menuju warung rokok, membeli rokok, memang aku merokok, walau jarang, tidak dilarang sih, tapi memang aku tidak terlalu sering merokok, hanya kalau ingin dan tergantung situasinya. Karena malam ini aku jaga di RS, maka bolehlah. Juga kubeli minuman kaleng dan ah ada tukang bakpau, kubeli beberapa potong, minta dibuatkan 2 kantung, lalu berjalan ke taman RS, ada beberapa bangku santai, kucari yang kosong, aku duduk di situ, Di beberapa bangku lainnya juga nampak beberapa orang meroko atau mengobrol, mungkin sama sepertiku menunggui keluarga yang dirawat juga. Kunyalakan rokokku dan kubuka minuman ringan, sambil berpikir, selama ini memang aku benci dengan papaku, semua waktu dengannya kulalui dengan formal saja, tak ada kesan, bicara juga secukupnya, bahkan terkesan cuek dan acuh. Aku tak peduli gimana reaksi papaku. Dia mau terima atau tidak dengan gayaku, itu bukan masalahku. Dari segi materi dan tanggung jawab memang papa tetap melakukannya dengan baik setelah bercerai, tetap menyempatkan waktu mengajak aku atau kakak jalan, memberi uang jajan, membiayai sekolah kami sampai manapun. Mama sendiri sejak bercerai tak pernah melakukan kontak dengan papa, hanya kontak kalau perlu yang berhubungan dengan kami, bahkan sebenarnya mama pernah bilang ke aku, tanpa perlu dibiayai papa, mama bisa menyekolahkan kami. Namun demi menghormati hasil keputusan cerai, membiarkan papaku melakukannya. Bagiku sosok papa sudah hilang sejak usia 12 tahun. Sosok papa setelah itu tak lebih hanya sosok biasa saja, tak meninggalkan kesan apapun. Tak ada kehangatan dalam hubungan kami, hanya datar saja. Aku tak tahu apa papa sadar atau tidak dengan sikapku yang membencinya. Memang sebelum dan sesudah bercerai papaku itu sudah berhasil dengan bsnisnya. Usahanya maju dengan banyak Perusahaan. Om Dedipun dia beri modal untuk mendirikan usaha, sedang suami tante Rika, dipekerjakan di Perusahaannya. Lalu tante Vera, sebenarnya rasa benciku padanya lebih karena tertular rasa benciku pada papa, secara tidak langsung aku menganggapnya sebagai perusak rumah tangga. Memang fokus utama kebencianku tertuju ke papaku, sedang ke tante Vera, mungkin karena kontak kami yang minim, jadi hanya sebatas benci karena kondisi.

Memang tante Vera selama 4 hari ini merawat dan menunggui papa tanpa kenal lelah, wajar kan dia istrinya pikirku. Aku tidak tahu bagaimana kondisi rumah tangga mereka, dan memang tidak mau peduli, bahkan menyumpahi mereka tidak bahagia. Kunyalakan lagi batang rokok yang baru, menghembuskan asapnya, kembali berpikir. Memang ada yang selalu menganggu pikiran dan menunggu jawabannya selama ini, kenapa sih papa samapai menceraikan mama...? Alasannya tidak pernah kutahu secara pasti, yang pasti kutahu memang mama tidak mau di madu. Kalau alasan berdasarkan pemikiranku, paling juga karena memang godaan tante Vera yang mau menguasai harta papa. Tapi itu kan pemikiran sepihakku. Kembali aku menghisap rokokku, diam sejenak, kali ini pikiran nakal bermain di otakku, kubayangkan bahwa tante Vera memang canti dan seksi, dulu waktu aku pertama kali bertemu belum punya pikiran itu karena masih bocah lugu, tapi sekarang aku sudah paham wanita, ya memang tante Vera canti dan mempunyai bodi aduhai, teteknya juga besar dan aduhai, tongkolku sedikit ngaceng memikirkannya. Lama aku terdiam hanya menghisap rokokku. Puas dengan pikiran nakal, kembali aku berpikir jernih, selama ini aku hanya memendam rasa benci, tanpa berusaha membalas, kini situasi sudah tercipta, otakku mulai berputar menciptakan berbagai ide dan kemungkinan, akhirnya aku sampai pada suatu ide yang cemerlang, tinggal bagaimana aku melaksanakannya dengan cermat. Aku bisa menuntaskan rasa benciku, membalas dendamku, mama, kakakku. Aku memang tidak peduli kondisi papaku, bagiku aku menungguinya karena disuruh mama. Dan mungkin karena supaya terlihat pantas saja seorang anak menunggui papanya yang sakit ( Kan tidak ada istilah bekas anak atau bekas papa ). Aku tersenyum dengan rencanaku. Sekarang atau tidak sama sekali. Akhirnya memang kuakui bagian diriku memang mat benci dengan papaku dan tidak akan pernah puas kalau belum membalasnya. Kulangkahkan kakiku ke dalam RS, semua sudah tersusun, namun kini yang paling penting, membangun situasi dan mengorek tante Vera, aku harus tahu dulu alasan yang selama ini kucari, kenapa papa tega menceraikan mamaku, apa yang tante Vera punya sampai papa mau menikahinya...???

Sesampainya di area kamar papa dirawat, kuberi satu kantung bakpau untuk para suster jaga, mengobrol sebentar, cuci mata, kali saja ada yang cantik dan lowong gitu. Stelah itu aku pamit, kubuka pintu kamar ruang papa dirawat, kulihat tane Vera tertidur di kasur satunya, memang lelah tampaknya. Kutaruh kantung bakpau di meja, membuka lemari, mengambil selimut cadangan, dan kuselimuti tante Vera. Kulihat papaku, sedang tidur. Lalu aku menuju sofa panjang, berbaring, memejamkan mata, tidur dulu. Semua rencana sudah matang, santai saja, kini istirahat dulu, mulai besok masih banyak waktu menjalankannya.

Paginya sekitar subuh aku bangun, kulihat tante Vera sudah bangun, dia bilang tadi dia makan bakpau yang kubeli, aku hanya nyengir saja, lalu mengucapkan terimakasih sudah menyelimutinya saat dia tidur. Aku hanya tersenyu saja. Papa masih tidur. Aku segera duduk, tante Vera membuatkan kopi untukku, lalu memulai percakapan.

”Nanti kamu kuliah Wan...???”
”Iya, agak siangan, Cuma sebentar.”
”Oh, nanti kalau repot nggak usah kemari lagi.”
”Nggaklah, kasihan kalau tante sendiri, lagipula ini kan papaku juga.”
”I..iya...,” tante Vera agak terkkejut dengan jawabanku, mungkin kaget karena mendengar aku yang perhatian sama papaku.
”Baguslah kalau begitu, selama ini papamu mengira kamu benci padanya, dan tante senang karena ternyata kamu ada perhatian sama papa kamu.”
”Sudahlah tan. Malah Irwan rasa, tante nanti bisa di rumah saja istirahat, biar Irwan gantiin tante.”
”Nggaklah...biar saja, kan ada kamu, jadi ada teman ngobrol.”
”Ya sudah, Irwan siap – siap dulu, mau pulang terus kuliah, nanti malam datang lagi.”

Ternyata penyakit papa cukup parah, dari hasil pemeriksaan tambahan ditemukan juga bahwa lambung papa ternyata juga kondisinya cukup parah, dokter memutuskan untuk mengobati dan merawatnya. Selain itu memang diperlukan agar papa dapat beristirahat secara penuh. Untuk urusan bisnisnya tidak ada masalah, karena memiliki pekerja yang kompeten. Untuk urusan penting diwakili oleh Om Dedi dan Om Damar, suami tante Rika. Tak terasa hampir 2 minggu papa dirawat, mama hanya datang menjenguk satu kali lagi. Sedang aku juga tetap mendapat giliran jaga malam, bersama tante Vera. Mama sendiri tidak menaruh curiga atau banyak bertanya, Selama aku sering jaga malam di RS, biasanya aku menggarap mama saat mama pulang kerja. Mungkin karena seringnya bertemu dan mengobrol dengan tante Vera, maka suasana hubungan kami mulai akrab. Orangnya ternyata asik juga, bicaranya apa adanya, gayanya juga masih seperti anak muda, mungkin karena usianya yang baru 30 tahun. Obrolan kami sudah menjadi lebih baik, tidak kaku dan topiknya juga sudah banyak. Papa sendiri sudah mulai bisa bicara walau hanya sedikit dan terbata – bata, kondisinya sudah lebih baik Biasanya kalau malam papa diberi obat dan juga obat tidur agar istirahatnya lebih baik, biaanya saat papa tidur, kami mengobrol. Karena kondisi papa sudah mulai baik, maka aku mengajak tante Vera ke bawah untuk cari makan. Dia setuju. Kami titip pada suster jaga, mau makan sebentar. Setelah makan, aku tidak langsung ke dalam RS, kuajak tante Vera ke taman RS sebentar, refreshing.

”Untung ada kamu yang menemani tante menjaga papamu, Wan. Jadi tante tidak sendirian.”
”Ah, sudahlah tante...”
”Terus terang tante sangat terbantu, apalagi selama ini papa dan tante mengira bahwa kamu benci sama kami.”
”Nggg...nggak gitu kok, tan.”
”Syukurlah kalau begitu.”
”Tante Vera, boleh aku tanya sesuatu...Agak pribadi, namun sudah lama ingin kutanya.”
”Boleh saja Wan.”
”Begini, selama ini aku tidak pernah tahu alasan papa bercerai dengan mama. Jujur saja, kesimpulan yang kubuat sendiri pastinya yang negatif saja. Tante , bisa jelaskan.”
”Wan, sebenarnya tante memang sudah lama ingin menjelaskan semuanya, tidak hanya ke kamu, tapi juga mama kamu dan kakak kamu, tapi tante tidak punya keberanian. Tante terlalu malu, apalagi melihat pandangan kalian terhadap kami.”
”Sekarang tante bisa jelaskan, biar Irwan paham, mungkin juga nanti Irwan bisa terangkan ke mama.”
”Baiklah, satu hal yang harus kamu ingat, mungkin kamu bisa saja beranggapan bahwa apa yang tante katakan hanya sepihak saja, namun nanti kamu bisa tanya ke papa kamu.untuk konfirmasinya.”

Lalu tante Vera menerangkan, dia menikah dengan papaku karena memang cinta dengan papaku, bukan untuk kekayaannya. Secara ekonomi keluarga tante Vera juga berkecukupan. Awal perkenalan mereka karena tante Vera dulu adalah sekretaris di salah satu perusahaan rekanan papa, kebetulan waktu itu papa ada urusan bisnis yang lumayan sering, jadi sering bertemu dengan tante Vera. Awalnya tidak ada apapun, hanya sebatas bicara biasa saja, lama – lama mulai tumbuh perasaan di antara mereka. Tante Vera yang saat itu usia 24 tahunmenemukan sosok pria yang penyayang, sabar dan memanjakan dalam diri papaku. Sedang papaku katanya merasa seperti remaja kembali, apalagi dulu perkawinannya dulu dengan mama kan karena perjodohan, jadi beda dengan suasana saat dengan tante Vera. Tante Vera bukannya tidak tahu papa sudah berkeluarga, ketika hubungan mereka sudah semakin akrab, tante Vera mencoba menjauh, namun papaku tidak mau. Kata papa, hubungannya dengan tante Vera memberikan rasa nyaman bagi dirinya, karena beda dengan mama yang mandiri, dengan tante Vera yang masih remaja, papa bisa memanjakannya, juga merasa lebih bisa mengekspresikan diri, dari awal hubungan semuanya dijalankan sepenuhnya sendiri, beda dengan suatu perjodohan, secara kata sulit dijelaskan, namun papaku merasa hidup memang terasa indah saat itu. Akhirnya papa mengajak tante Vera menikah, dan tante Vera MENOLAKNYA mentah – mentah, dengan alasan tidak sepatutnya dia merusak rumah tangga orang lain. Tante Vera lalu berhenti kerja dan pindah tempat tinggal. Saat itu papa seperti kehilangan arah, dan menjadi pemarah, yang dilampiaskan ke mama di rumah. Tanpa tahu alasannya mama selalu dimakinya. Yang tante Vera tahu, papa menyewa orang untuk mencari keberadaannya, akhirnya papa berhasil menemukan tante Vera kembali. Kembali mengajak menikah, tante Vera setuju dengan syarat mendapat restu istri pertama. Papa kemudian bilang bahwa istri pertamanya yaitu mamaku setuju, yang ternyata BOHONG belaka, karena akhirnya memang tak lama merekah menikah, papa dan mama bercerai, karena mama memang tidak mau dimadu, dan memilih diceraikan. Akhirnya tante Vera tahu dari papaku bahwa mama memang tidak setuju dan mengatakan papa boleh kawin lagi asal menceraikannya. Jujur saja saat itu tante Vera merasa bersalah dan menyesal, namun terlalu malu untuk menemui mamaku, belum lagi bila melihat sikap mama, aku dan kak Erni, makin hilang saja keberaniannya. Akhirnya dijalanilah rumah tangga mereka, memang papa menyayanginya. Walau begitu papa tetap gila kerja, kadang lupa waktu, bahkan memang tahun – tahun belakangan ini kesehatannya memang mulai menurun.

”Jadi seperti itulah, Wan. Tante mengatakan sejujurnya, dan memang menyesal saat tahu yang sebenarnya, tapi tante memang tidak punya keberanian menghadapi kalian.”
”Ngg....Irwan percaya kok.”
”Tante benar – benar minta maaf....”
”Nggak apa – apa, kini Irwan sudah tahu alasannya, memang konyol, tapi bisa saja. Irwan paham posisi tante Vera.”
”Ya...semoga bisa membuat Irwan lebih mengerti.”
”Memang papamu selalu menyayangi tante, memanjakan dan membahagiakan tante, namun dalam hati kecil tante selalu merasa ada rasa bersalah.”
”Sudahlah tan....., yuk ke dalam lagi.”
”Terimakasih ya Wan, kini tante merasa lebih lega.”

Lalu tante Vera mengecup pipiku, dan kami segera melangkah kembali ke dalam RS.

Setelah hampir 1,5 bulan papa akhirnya diperbolehkan pulang, dokter melarang keras untuk bekerja. Papa masih memakai kursi rodah karena tubuhnya dari pinggang ke bawah masih lemah, kemungkinan untuk berjalan normal kembali bisa, tapi tidak dalam waktu dekat, dan juga harus menjalani terapi yang lama dan panjang. Ekspresi wajahnya agak kaku dan tampak kosong, bicaranya juga terbatas tidak bisa terlalu cepat dan agak gagap, namun bisa mengerti dan menjawab bila berkomunikasi. Tante Vera memutuskan tidak memakai tenaga perawat di rumah, dan memilih melayani dan merawat papa. Tante Vera juga mengatakan padaku agar juga sering datang menemani papaku, mungkin bisa membantu kesehatannya. Aku hanya mengiyakan.

Sudah 2 minggu papa pulang ke rumahnya. Siang itu aku baru saja dari rumah tante Ani, biasa habis minta jatah Nenen..hehehe, kini aku berbaring di kamarku. Berpikir....merangkai informasi sambil memutuskan apa yang harus kulakukan. Kini aku sudah tahu alasan papa menceraikan mama. Tentu mama tidak kuberitahu. Nanti aku hanya perlu mencoba menanyakan kebenarannya pada papa. Sekarang aku coba berpegang pada keterangan tante Vera dulu. Coba aku pikirkan kembali, ternyata memang papaku itu sungguh konyol dan tidak peduli dengan keluarganya, apanya yang lebih baik...dasar sudah tua masih saja puber, entah apa yang ada di otaknya saat itu, apa yang kurang dari mamaku...??? Sepintas memang simple saja, tapi itulah misteri hidup, kadang hal yang tidak masuk akal bagi orang lain, bisa saja terjadi, kalau pria sudah suka dan jatuh cinta, apapun alasannya pasti akan dia usahakan terus sampai dapat. Sial, kenapa setelah paham kondisinya, rasa benciku makin meningkat, tidak puas bila tidak membalas.....sejauh ini aku telah menahan diri, mencoba sebaik mungkin menunjukkan perhatianku saat papa sakit, padahal hatiku kesal sekali. Papa sendiri merasa senang dengan kehadiran dan perhatianku selama ia dirawat di rumah sakit. Walau saat ini aku sudah jauh mengenal dan merasa tante Vera orangnya asik juga, namun tetap saja dalam lubuk hatiku, aku merasa tante Vera juga punya andil bersalah. Kalau dia berkeras tidak mau kawin sama papaku pasti bisa, kalau memang ia berkeras hati. Ah...pusing jadinya,lebih baik aku ke rumah mereka. Kutelepon mama, aku katakan bahwa aku mau pergi ke rumah teman, jadi pulang agak malam. Segera kuambil kunci motorku, ya berangkat dulu.....

”Hai Wan, tumben siang – siang gini datang.”
”Iya, tante Vera, mau nengok papa.”
”Oh, kebetulan papamu baru bangun tidur, sekarang lagi di teras belakang.”
”Iya aku ke sana dulu.”

Lalu aku menuju teras belakang, papa sedang duduk diam, melihat tanaman. Melihatku datang papa tersenyum. Singkat kata aku berbasa – basi menanyakan kondisinya, mengobrol sedikit beberapa hal. Bicaranya sudah sedikit lebih lancar, tidak terpatah – patah seperti dulu. Setelah puas berbicara, aku bilang selama ini aku ada pertanyaan yang ingin kutanyakan, tentang kenapa papa menceraikan mama. Mulanya mungkin papa terkejut dan sungkan menjawab, namun kubilang aku terus menyimpan pertanyaan ini selama ini. Akhirnya mungkin juga karena papa senang dengan aku yang mulai dekat dengannya, papa menjawabnya dan menjelaskan hal yang kurang lebih sama dengan yang Tante Vera pernah jelaskan padaku. Namun papa juga menambahkan bahwa saat itu entah kenapa perasaan dan cintanya ke mama menjadi luntur, di matanya apa yang mama lakukan sepertinya salah. Mungkin karena saat itu papa sedang jatuh cinta ke wanita lain. Di akhir penjelasannya, papa menerangkan, saat ini sesal juga tiada arti, masing – masing telah menempuh jalan hidupnya.

Aku hanya diam saja, berpikir, segampang inikah dia bilang...??? Jalan hidup pilihan masing – masing. Hei...bukn pilihan masing – masing, kamu yang membuatnya, mama tidak memilih jalan hidup ini secara sukarela, tapi karena kondisi yang kamu sebabkan. Gila, perasaan dan cinta yang luntur, huh...tai kucing, itu Cuma pembenaran diri saja. Aku mencoba mempertahankan ekspresi mukaku tetap dalam posisi biasa, lalu aku bilang terimakasih karena sudah mau menjelaskan. Papaku bertanya apa aku tidak marah, aku menjawab dengan memakai istilahnya sendiri

”Seperti papa bilang, ini sudah jalan hidup masing – masing. Nah sekarang papa mau ke dalam atau mau tetap di sini...?”
”Papa di sini saja Wan, sejuk dan nyaman.”
”Baiklah, kalau nanti mau masuk panggil saja ya.”

Lalu aku masuk ke dalam, kulihat tante Vera sedang duduk membaca koran, melihatku masuk, ia letakkan korannya dan menyuruhku duduk. Tante Vera mengenakan daster yang cukup longgar, namun tetap menonjolkan lekuk tubuhnya. Ia bilang tunggu sebentar, ia buatkan kopi dulu. Tak lama ia datang membawa 2 cangkir kopi dan kue, lalu kembali duduk dan mulai berbicara denganku, cukup akrab dan ceria, sedikit banyak kami mulai menanyakan hal – hal yang pribadi dan sedikit ngelantur.

”Iya lho Wan, kamu kan masih muda, wajah oke, bodinya athletis, berkecukupan, masa belum punya pacar sih. Apa mau tante cariin...???”
”Mungkin memang belum ada yang cocok dan nyantol di hati. Memangnya kalau tante mau bantu cariin, tante tahu tipe yang Irwan suka...?”
”Iya juga ya, hehehe, memangnya yang kamu suka yang seperti apa Wan...?”
”Ya... yang seperti tantelah.”
”Ah, kamu ini ngeledek tante saja, mentang – mentang tante sudah tua.”
”Nggak serius kok, lagian tante kan masih mudah, tua darimana...???”
”Ah sudahlah, tante jadi malu.”
”Benar kok tan, jangan marah ya, Irwan terus terang saja, tante Vera itu cantik dan seksi kok. Apalagi umurnya juga masih 30an kan...? Bukannya tidak menghormati papa yang sedang sakit, tapi sedikit banyak Irwan ngerti lah.”
”Lho apa hubungannya dengan papamu..?? Ngerti apaan sih Wan...??”
”Maaf ya tan, tapi Irwan memang kalau ngomong blak – blakan, pastilah usia kayak tante masih butuh hubungan seks, namun dengan kondisi papa yang sakit pastinya sedikit banyak membuat tante tersiksa. Ini nggak ada hubungannya dengan cinta atau komitmen rumah tangga, ini memang kondisi pasti melihat keadaan. Duh...maaf , tan, jadi ngelantur, tante nanyain soal pacar, kok malah Irwan jadi ngomongin yang lain. Tapi harap maklumlah habis tantenya bilang tante sudah tua, jadi Irwan bicara apa adanya.”

Memang aku lagi ngebokis sedikit, sambil cari – cari info, dan aku yakin caraku yang sedikit guyon dan blak – blakan cocok dan sesuai dengan kondisi. Dan memang tante Vera juga kulihat tetap rileks dan tidak marah, mungkin karena usianya juga belum terlalu tua.

”Duh, kamu ini, kayak yang sudah paham saja. Tapi ya, tante juga suka sama kamu yang blak – blakan kayak gini. Jadi tante juga nggak merasa canggung, semua yang kamu katakan itu memang ada benarnya kok, tante nggak perlu bohong. Apalagi 2 tahun belakangan ini memang papamu kerja terus lupa waktu, juga kondisi kesehatan papamu sudah menurun, sebagai wanita tentu saja berpengaruh ke tante, tapi tante terima karena memang kondisinya begitu. Sudah ah, ganti topik yang lain sajalah...”

Akhirnya kami meneruskan membicarakan hal lain, setelah beberapa lama, papa memanggil dan ikut bergabung. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang, menolak diajak makan bersama. Aku pamit sama papa, lalu sebelum aku pulang tante Vera memelukku, pelukkan biasa dan wajar, terasa sedikit teteknya yang kenyal di badanku...hehehe, lalu mengecup pipiku, mengucapkan terimakasih sudah mau mampir. Papa senang melihat aku juga sudah mulai akrab dengan istrinya. Lalu akupun pulang.

Sesampainya di rumah, sekitar jam 7an, mama sudah pulang dan sudah menyiapkan makan malam, setelah makan, aku mandi, nonton TV, lalu malamnya kembali bercinta dengan mama. Setelah selesai bertempur bersamaku, mama tertidur. Aku belum bisa tidur, sambil jariku memainkan puting dan membelai – belai tetek mama, aku mulai berpikir menarik kesimpulan, jadi kini aku sudah paham alasannya, kenapa papa menceraikan mama, sudah mengerti betapa tidak jelasnya papaku memperlakukan keluarganya demi cinta barunya. Juga sudah mendapat info mengenai kondisi terkini tante Vera. Kini semua alasan, jawaban dan informasi sudah kudapat, tinggal melaksanakan pembalasan. Tadinya aku yakin kalau aku mau sabar sedikit lagi, tetap bisa kujalankan rencanaku, namun karena rasa dendamku yang timbul karena mendengar pengakuan papaku, ya pakai cara paksa deh, toh pasti akan bisa kutaklukkan juga. Nggak perlu cara halus, kelamaan prosesnya. Aku kini tersenyum senang. Ugh...gairahku naik lagi, kembali aku menggarap mamaku.

Paginya aku sengaja bolos kuliah, hari ini akan kumulai pembalasanku. Mama sudah berangkat kerja. Aku telepon tante Vera, kubilang hari ini aku libur kuliah, jadi boleh tidak aku main ke rumahnya sekalian temani papa , tante Vera senang sekali dan mempersilahkanku datang. Segera aku sarapan, mandi dan berangkat. Sesampainya di sana, papa nampak sedang menonton TV di ruang tamu, tiduran di sofa panjang, kursi roda di sampingnya. Aku sapa papa, lalu menemaninya. Kulihat tante Vera keluar dari kamar, kamarnya menghadap ke ruang tamu, memakai daster yang sedikit lebih pendek dari kemarin, agak ketat dan tanpa lengan, hmmm.....terlihat menangtang. Tante Vera menyapaku, lalu menemani mengobrol sebentar, menanyakan aku mau minum apa. Tak lama tante Vera bilang mau ke depan sebentar belanja untuk memasak. Hampir satu jam kemudian kulihat papa tertidur, aku matikan TV, dan segera berdiri menuju ke belakang, kulihat tante Vera sedang duduk di bangku kecil, mengupas sayur. Aku ikut duduk dekat situ menemani sambil mengobrol. Sesekali mataku mencuri pandang ke arah pantatnya, teteknya yang terlihat menonjol besar di balik dasternya. Tante Vera terus saja mengupas sayur sambil mengobrol. Akhirnya, tante Vera berdiri, mencuci sayuran, posisinya membelakangiku. Aku perhatikan tubuhnya dari belakang, nampak menggoda. OK, saatnya pembalasanku telah tiba, it’s now or never....Kudekatkan tubuhku dekatnya, lalu segera saja aku pepetkan tubuhku dari belakang, tanganku memeluk perutnya bagian depan celanaku menempel pantatnya ke pembatas cucian, mulutku mulai mencium lehernya, tante Vera terkejut, sebelum ia berteriak, aku cium bibirnya, tanganku mulai meremas teteknya. Kulihat tante Vera mencoba melepaskan dirinya, namun tak berhasil, aku makin ganas menciumnya, tanganku makin brutal saja meremas dan mempermainkan teteknya. Akhirnya aku lepaskan bibirku dari bibirnya, sambil dengan cepat satu tanganku mendekap mulutnya, mencegahnya berteriak.

”Tan, Irwan akan lepaskan tangan Irwan, namun tante jangan berteriak.” Lalu aku renggangkan tubuhku dan kulepas tanganku dari mulutnya, dengan cepat kuputar tubuhnya kini menghadapku, tangannya mencoba mendorongku, segera kutangkap, kutekankan lagi tubuhku ke tubuhnya mencegahnya kabur.

”A..apa yang kamu lakukan, Wan..? Bajingan kau.”
”Nggak perlu ditanyakan lagi kan tan. Irwan laki – laki, punya nafsu, pantas kan kalau Irwan terangsang melihat tante Vera yang cantik dan seksi.”
”Kamu mau terangsang itu terserah kamu, tapi jangan dengan aku. Aku ini istri papamu. Apa kamu sudah gila”
”Sudahlah tan, tante juga sudah lama nggak dimasukkin kan, nggak ada bedanya aku sama papaku kok.”

Selesai mengatakan itu aku segera menciumnya, Satu tanganku meremas dengan kuat teteknya, tangan tante Vera coba mendorongku, namun tidak bisa karena tergencet tubuhku. Mulutnya terus memberontak berusaha melepas ciumanku, kini tanganku yang satu lagi mulai mengangkat dasternya, kumulai meraba CDnya, tebal dan empuk, segera kupelorotkan sedikit CDnya, terasa rambut kemaluannya yang tebal, kumulai meraba – raba memiawnya, kucari itilnya, kumulai memainkanya dengan jariku. Bibirku terus menciumi bibirnya walau berusaha ditolak. Jariku kini mulai menyodok –nuodok lobang memiawnya. Tante Vera masih berusaha menolak, namun lama kelamaan kurasakan tolakannya makin melemah. Mungkin karena teteknya yang terus kuremas juga memiawnya yang sedang kumainkan dengan jariku, kurasakan tubuhnya mulai rileks, memiawnya mulai basah. Kini bibirnya berhenti memberontak, walau belum menerima dan membalas ciumanku. Tenang saja, nanti juga akan. Kurasakan badannya mulai menggeliat, matanya juga mulai tenang. Akhirnya aku hentikan semua aksiku pada tubuhnya. Segera kulepaskan himpitanku. Lalu....Plak...pipiku ditampar olehnya.

”Ini untuk kekurang ajaran kamu.” Kaget aku menerima gamparannya. Belum hilang kagetku, bibirku langsung diciumnya dengan bergairah, lalu dilepasnya kembali.
”Dan ini untukmu karena berani kurang ajar sama aku.”
”Hah...??”
”Kali ini kamu tante maafkan, tapi kamu harus selesaikan apa yang kamu perbuat, ingat hanya kali ini saja tante ijinkan, sebab memang tante sudah lama tidak melakukannya, tante juga butuh. Ingat Wan, hanya kali ini dan hanya jadi rahasia kita.”

Hanya kali ini...?? Hei, bukan itu yang ada dalam rencanaku, tapi biarlah dulu, yang penting buka jalan dulu, nanti bisa diatur ulang. Aku hanya mengangguk, dan mulai menciumnya, bibirnya kini balas mencium bibirku, bergairah dan panas. Kemudian aku lepaskan ciumanku, kuturunkan dasternya, nampak tubuhnya yang seksi kini terbungkus BH dan CD saja. Tanganku segera membuka BH nya, segera terpampang tetek tante Vera, tidak sebesar mama, namun tetap masuk dalam kategori tetek besar, bentuknya bulat dan kencang, putingnya besar coklat kemerahan dengan lingkaran sekelilingnya tidak terlalu lebar. Lalu aku turunkan CD-nya nampaklah hamparan rambut kemaluan yang rimbun menghiasi memiawnya. Glek...indah nian pemandangan di depanku, tongkolku langsung On jadinya, segera saja mulutku menyosor teteknya, lidahku sibuk memainkan putingnya, tangan tante Vera kini mulai mengelus celanaku, mengelus benda di baliknya. Aku puaskan menciumi dan meremas teteknya, kuperhatikan keteknya bersih terawat. Tante Vera nampaknya suka jika teteknya dimainkan, kini tangannya mulai membuka resleting celanaku, mencari tongkolku, aku tepiskan perlahan tangannya, lalu secepatnya segera aku membuka kaos dan celanaku, kulihat matanya menatap kagum tongkolku yang mengacung perkasa di hadapannya. Segera aku maju mendekat, tante Vera segera berlutut di hadapanku, tangannya kini mulai memegang tongkolku, diam sejenak mengamati dan mengamati lagi. Lalu tangannya mulai mengurut dan mengocok tongkolku, jarinya mengusap kepala tongkolku, kini lidahnya mulai menjilati penuh penghayatan, mula – mula dari daerah kepala tongkolku, lalu lubang pipisku, kemudian batang tongkolku, puas menjilati, mulutnya mulai memangsa tongkolku, tongkolku ditelannya sampai ke pangkalnya, lalu mulai ia kulum dan hisap dengan cepat. Ah....aku yang sedang berdiri merasa nikmat sekali, untung lututku tidak lemas.....hebat juga permainan oral tante Vera. Tak lama aku segera memutuskan untuk memulai rangsanganku padanya, segera kududukkan tante Vera ke pinggir meja dapur, kakinya kulebarkan dan aku agak menjongkok, nampaklah belahan memiawnya yang memerah, segera kujilat dengan lidahku, kusapu habis seluruh permukaannya, lalu kujilati itilnya, kumainkan dengan lidahku ke sana kemari membuatnya merasa geli – geli nikmat. memiawnya mulai basah sementara kakinya makin ia lebarkan, kini jariku juga ikut menusuk lobang memiawnya, desahan nikmat terdengar dari mulutnya. Cukup lama aku memainkan lobang memiaw dan itilnya, kemudian tubuhnya mulai mengejang dan benar saja tak lama ia mendapat orgasmenya, kulihat ia terkulai lemas dan puas, nampaknya memang sudah lama tidak mendapatkan kepuasan orgasme.

Tak menunggu lama, segera kuberdiri, kini tongkolku menghujam dengan cepat dan kuat ke dalam lobang memiawnya, agak sulit awalnya, namun akhirnya amblas juga seluruhnya ke dalam lobang memiawnya, mata tante Vera terpejam saat tongkolku mulai menghujam ke dalam lobang memiawnya. Aku rasakan memiawnya agak sempit, mungkin karena sudh lama tidak dimasukin, terasa menjepit tongkolku dengan kuat, segera kupompa tongkolku dengan cepat dan kuat, sangat lancar di dalam lobang memknya yang sudah basah, tante Vera mengerang keenakan, lidahku ikut beraksi menjilati putingnya, mulutku bergantian menghisapi kedua putingnya, tangan tante Vera hanya bisa menjambaki rambutku, sementara kedua kakinya makin lebar ia kangkangkan. Plookkk.....ploook....bunyi pompaanku terdengar nyaring di tengah rintihan suaranya. Aku tidak memikirkan untuk mengganti posisi, karena posisi sekarang sudah enak dan nyaman, apalagi memiawnya memang terasa sempit. Jadi kupompa tongkolku dengan tempo cepat dan konstant.

”Ughhhh....Yesssssss........Ohhhhhhhhhh...”
”Sssshhhh.....terruussssss....Ahhhh..”
”Nikmaaaattt....Wannnnnn...”

Kembali tubuhnya mengejang, pantatnya agak terangkat saat tante Vera kembali mengalami orgasmenya, aku tak kenal ampun terus saja memompanya, memberikan kenikmatan yang tidak akan ia lupakan, matanya merem melek, mulutnya terus mendesah, tangannya memelukku erat, bibirnya kini memangsa bibirku dengan ganas, menyedot lidahku, pompaanku tongkolku makin kuat saja, tanganku kembali meremas – remas teteknya, akhirnya kurasakan denyutan pada tongkolku, pompaan terakhir segera kusodok dengan kuat dan sedalam mungkin, lalu tubuhku mengejang....Crooot...croottt.....keluar juga cairan nikmat dari tongkolku, aku terdiam lemas, lama kami terdiam menikmati apa yang baru terjadi. tongkolku masih menacap di dalam memiawnya. Tak lama terdengar suaranya.

”Kuralat ucapanku Wan, kamu boleh terus meminta untuk menyetubuhiku kapanpun kamu mau, enak sekali rasanya, belum pernah tante senikmat ini, apalagi sudah lama tante tidak melakukan hubungan.”
”Tadi baru pemanasan tan, masih banyak kenikmatan yang bisa Irwan berikan.”
”Benarkah...??”
”Mau lagi...?

tongkolku memang sudah mengeras lagi, lagipula maih menancap di memiawnya, segera saja kuangkat tubuhnya, kini aku berdiri dengan tante Vera mengapitkan kedua tanganya di leherku, kakinya mengapit di pantatku, sambil berdiri, tante Vera menggoyang pantatnya perlahan, membantu memompa tongkolku, aku berjalan perlahan, yang tidak tante Vera sadari karena ia tidak melihat, aku sengaja berjalan ke ruang tamu, di mana papaku masih terbaring tidur di sofa panjang, segera aku menuju sofa pendek dan mendudukkan tubuhku, tante Vera kini di atas tongkolku, nampaknya sadar di mana aku duduk, kulihat ia berusaha mencabut tongkolku dari memiawnya, namun kutekan pantatnya dengan tanganku kuat, mencegahnya. Terdengar suaranya pelan.

”Wan...gila kamu, papa kamu bia bangun.”
”Sudah diam saja kamu tante. Kalau mau aku puaskan, turuti saja keinginanku, lagipula bisa apa papaku...? Tante kan sudah lama tidak disentuhnya, jadi kini aku yang membantunya.”
”Gila kamu...Wan”

Mukaku berubah menjadi garang, kutatap tajam wajahnya, lalu dengan suara sinis aku kembali berkata.

”Gila...??? Mungkin saja, tapi aku memang sudah bertekad untuk menyetubuhi tante di depan lelaki keparat ini.”
”Tapi...kenapa...???”
”Sebagai pembalasan karena telah menghancurkan keluarga, menceraikan mamaku. Tante juga sama bersalahnya dengan lelaki ini, namun tentunya bagi tante, ini bukan seperti hukuman kan, malah tante harusnya senang karena memiaw tante justru mendapat kepuasan.”

Selesai berkata aku segera menahan pinggulnya dengan kedua tanganku, aku naik turunkan pinggulku, memompa tongkolku di dalam lobang memiawnya, mulutku dengan rakusnya melumat teteknya. Anehnya tante Vera hanya diam saja pasrah, mungkin masih terguncang dengan kemarahanku. Aku terus memompa tongkolku dengan cepat, desahan suara tante Vera mulai terdengar. Tak berapa lama aku hentikan pompaanku, dengan tongkolku masih menancap, kuputar tubuhnya, kini membelakangiku, di atas badanku, kembali tongkolku menghujam memompa memiawnya, kumiringkansedikit kepalaku di belakangnya, agar bisa menghisap putingnya, sementara satu tanganku memainkan dan menggosok gosok itilnya, desahan tante Vera makin kencang....pantatnya ikut bergoyang mengimbangi sodokan tongkolku, lalu diiringi erangan kuat ia kembali mengalami orgasme. Sodokanku terus kulakukan.

Mungkin karena suara – suara ribut aktifitas kami, kulirik papa mulai terganggu tidurnya, lama kelamaan makin tidak nyaman, dan akhinya matanya mulai terbuka, nampaknya belum terlalu sadar, namun akhirnya melihat ke depannya dan tersadar apa yang terjadi, matanya membelalak dan mulutnya terbuka kaget. Tante Vera nampaknya sidah pasrah dan tidak peduli lagi, aku juga masih terus menyodokku, aku segera berkata

”Oh, maaf mengganggu tidurmu, wahai papa tercinta.”
”A...apa....yan...yang...ka...kal...kalian ....la...ku..kan..???”
”Lihat saja dan nikmati dari sana, pa.”
”Mas...ma..ma..afkan..Ooohhh...a...kuuu....Sshhh.. .tapi...akuuu..Awww...sudaaaah
hh...lamaaa...ti..daaaakkk...meneri...maaa nafkahhhh...batinnnn darimuuuu...akuuuu...tiddaaakkkk.....Ughhh....tahh aannn...dann ti..tidaakk bisa..menolakkknyyaaa....” terdengar suara tante Vera di tengah desahannya.

Papa hanya bisa memandang kami tanpa bersuara, ekspresinya kosong, peduli apa aku, sudah sepantasnya dia mendapatkan balasan dariku. Aku terus memompa memiaw tante vera, jariku makin cepat memainkan itilnya. Putingnya sudah mengeras dan membesar karena dihisap dan dimainkan oleh mulutku. Sesekali tanganku membelai dan memainkan rambut kemaluannya yang tebal. Lidahku juga menjilati lehernya, tante Vera menggelinjang kegelian, lalu teteknya aku cupang, meninggalkan segaris bekas merah dekat putingnya. tongkolku sudah amat keras, entah kenapa sensasi melakukannya di depan papaku sebagai balasan perbuatannya, membuatku amat senang. Kini tanganku menahan dan memegang pinggul tante Vera, kuangkat sedikit pinggulnya, lalu aku mulai menyodoknya tongkolku dari bawahnya dengan kuat dan cepat, memberikan pandangan yang jelas ke mata papaku saat tongkol anaknya menghantam memiaw istrinya yang kini mendesah nikmat. Tanpa mengurangi kecepatan kuhujamkan terus menerus tongkolku dengan cepat, kembali tante Vera mengalami orgasme, aku juga merasakan bahwa sebentar lagi aku akan keluar, kurasakan denyutan kembali di tongkolku, akupun segera menyemprotkan spermaku ke liang memiaw tante Vera. Lama kami terdiam, kemudian tante Vera mencabut tongkolku dan duduk di pinggir sofa di sampingku.

”Sebelum kamu marah mas Bambang, aku minta maaf, namun aku juga wanita, punya kebutuhan seks, apalagi 2 tahun belakangan ini kondisi kesehatan mas menurun, amat jarang menggauliku, aku menderita mas. Namun aku tidak pernah selingkuh, kalaupun kali ini aku melakukannya, karena kau tidak tahan dan tidak bisa menolaknya. Lagipula dia anakmu, aku lebih memilih melakukannya dengan dia daripada orang lain. Maafkan aku, aku harap pengertianmu.”
”A...akkkuuu..me..menger...ti Vera, akuuu menger..ti.”
”Terimakasih mas, sejujurnya aku tidak mau mengkhianat mas, namun keinginan dan hasratku sulit dibendung, aku hanya melakukan ini karena aku merasa nyaman melakukannya dengan orang yang kukenal yaitu anakmu, kalau yang lain mungkin aku tidak mau.”

Aku hanya memandang dan mendengar percakapan mereka, kulihat papaku, aku merasa tidak sedih atau kaihan dengan kondisinya, peduli amat, kutatap wajahnya, dia juga menatapku, wajahnya nampak kosong.

”Bagaimana rasanya kini...? Saat aku menyetubuhi istrimu...??? Aku menunggu lama untuk membalas semua perbuatanmu yang meninggalkan kami. Apa aku merasa menyesal..??? Tidak, seperti kau yang tidak menyesal menceraikan mama dan meninggalkan kami. Juga seperti katamu, inilah jalan hidup.”
”Ka...kamu..pu..as..bi.sa mem..balas..??”
”Tentu..., apalagi di depan matamu. Kuberitahu, selama ini aku tidak pernah simpati dengan kondisimu, bagiku aku hanya berpura – pura untuk membalasmu. Hei, papaku yang konyol, kamu hanya memikirkan alasanmu saja untuk bercerai, tidak pernah peduli perasaan mama. Seenaknya kamu memilih jalan hidup baru. Dan juga kamu tidak menyesalinya. Aku puas bisa membuatmu yang tidak berdaya ini menyaksikan pembalasanku.”
”Ka...ka..mu...be...beg..gitu...benci...sa..ma..pa pa..??”
”Jangan konyol, setelah perbuatanmu selama ini, apa yang kamu harapkan..?? Pakai otak papa. Aku benci dan menganggapmu tidak lebih daripada sampah. Namun hari ini aku bisa membalasnya. Aku tidak pernah peduli apa kamu akan menganggap aku anak atau tidak, atau peduli akan hartamu, aku tidak butuh itu. Bagiku mama dan kak Erni adalah keluargaku.”
”Ma...ma..afkan..pa..pa...”
”Untuk apa minta maaf, setelah sekian lama baru minta maaf. Sudahlah, jangan menambahku muak. Aku pergi saja sekarang, silahkan saja kalau papa mau menceritakan hal ini ke orang lain, paling papa hanya akan jadi bahan tertawaan saja. Oh ya, satu hal lagi, kamu harusnya berterimakasih padaku karena bisa menggantikan kamu yang tidak bisa memuaskan istrimu yang muda ini...hahaha.”

Lalu aku segera bangkit, ke dapur, mengambil bajuku dan memakainya, lalu segera meninggalkan rumah itu. Mama tidak pernah kuberitahu hal ini.
Seminggu kemudian tante Vera meneleponku, mengatakan bahwa papaku mengharapkan agar aku masih mau datang menjenguknya, juga papaku bisa paham kalau tante Vera melakukan hal ini karena memang usianya masih butuh dan bergairah sementara papa sendiri sudah tak mampu. Mungkin lebih baik memang aku yang memenuhinya daripada dengan orang yang tidak jelas. Kini tante Vera bahkan yang sering memintaku melayaninya. Aku mau tapi hanya bila tidak di rumah itu. Akhirnya tante Vera memperkerjakan perawat agar ada yang bisa menjaga papa saat dia pergi. Biasanya dia mengajakku ke hotel. Sepertinya dia merasa menemukan pelepas dahaga seksnya, entah kenapa dia memilihku, mungkin dia pikir papaku lebih setuju dia melakukannya denganku daripada dengan orang lain. Bagiku tidak masalah, pembalasanku telah terpenuhi, dan kini tante Vera istri papaku....siapa yang bisa menolak tubuh yang seksi yang minta dipuaskan...???

Aku bukanlah orang yang kejam, aku hanya orang yang simple saja, bagiku ada prinsip sebab akibat, aku begini penyebabnya jelas dan juga akibatnya jelas.

Penutup untuk Episode Pembalasan Yang Sempurna :

Lima bulan kemudian papaku meninggal dunia, dalam usia 51 tahun, secara kesehatan sebenarnya kondisi papaku sudah membaik, tapi nampaknya kondisi jantungnya makin memburuk, ada masalah yang tidak terdeteksi. Aku, mama dan kak Erni datang melayat dan ikut menguburkannya. Banyak yang datang, selain keluarga juga para karyawannya dan relasi bisnisnya. Kami lalui proses pemakamannya lalu pulang, tidak mau ikut peduli dengan masalah perusahaannya atau harta apapun. Hampir 2 bulan kemudian, aku, mama, kak Erni, Tante Vera, adik – adik papa : Om Dedi dan Tante Rika, juga beberapa direksi perusahaan papa dipanggil ke kantor pengacara yang juga pengacara perusahaannya, rupanya papa sebelum meninggal, sudah meninggalkan wasiat, dalam bentuk surat dan rekaman video. Dengan rekaman video akan memperkuat otentikasi dan tanpa rekayasa, kata pengacaranya memang itu permintaan papa. Setelah basa – basi singkat, pengacara papa mulai membaca beberapa point penting dan kemudian memutarkan video yang berisikan rekaman papaku yang sedan berbicara membicarakan wasiatnya. Dalam rekaman itu nampak papa menjelaskan bahwa apa yang disampaikan adalah mutlak dan memiliki kekuatan hukum, dia tidak mau ada yang keberatan atau bertengkar, ini adalah keinginannya tanpa campur tangan dan paksaan siapapun. Isi wasiatnya : tante Vera mendapatkan 10 % kekayaan dan saham perusahaan, rumah utama, serta sejumlah benda dan asset yang ada di daftar pada pengacara, Om Dedi, Tante Rika, dan mama masing – masing mendapatkan 10 % kekayaan dan saham perusahaan, serta sejumlah benda dan asset yang ada di daftar pada pengacara. Aku dan Kak Erni mendapatkan 30 % kekayaan dan saham perusahaan, serta sejumlah benda dan asset yang ada di daftar pada pengacara. Papa mengatakan bahwa akulah yang ia tunjuk nantinya untuk memimpin perusahaannya. Karena saat ini aku belum cukup matang dan masih sekolah, maka sementara urusan perusahaan dipegang oleh Om Dedi dan Om Damar ( suami tante Rika ), sampai aku siap. Untuk itu para direksi diharapkan menjadi saksi dan mematuhi pengaturan ini. Sisanya papa masih membagikan beberapa benda dan sejumlah uang untuk beberapa anggota direksinya. Untuk masalah pemabgian ini papa mempercayakan pengaturannya pada pengacaranya dibantu Om Dedi. Setelah video rekeman selesai , pengacara mematikan dan menanyakan apakah ada yang keberatan..?? Karena kami semua mendengar dari rekaman yang jelas, tanpa ada rekayasa, juga masing – masing pihak nampaknya telah dipikirkan oleh papa, untuk aku dan kak Erni sebagai anak memang papa berhak memberi warisan yang besar, maka tidak ada yang keberatan. Om Dedi dan Tante Rika juga nampaknya senang karena papa ikut memikirkan mereka. Pengacara segera membacakan beberapa point tambahan, juga memint kami menandatangani aktenya, lalu menyatakan semuanya sudah sah secara hukum. Untuk urusan pembagiannya akan dilaksanakan sesegera mungkin. Kami lalu saling bersalaman dan pulang. Satu hal yang kuperhatikan di sini, tante Vera memang tidak bohong sewaktu mengatakan ia menikahi papa bukan untuk hartanya, tidak ada keberatan atau kemarahan di wajahnya.

Sebenarnya aku, mama dan kak Erni tidak mengharapkan apapun, namun namanya warisan, tak kami minta namun harus kami terima, secara hukum kini kami bertiga memiliki 70 % saham perusahaan papa. Kami bertiga berembuk mengenai hal ini, mama bilang dia hanya akan konsentrasi pada perusahaannya ( yang memang juga besar ), dan menyerahkan jatahnya untuk aku dan kak Erni. Setelah lama berunding, kami ampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya kami tidak berminat meneruskan perusahaan papa, perusahaan mama sudah berkembang. Aku lalu mengusulkan ke mama untuk melepas dan menjual saham tersebut, dan uangnya untuk menambah modal perusahaan mama dan aku tabung, kak Erni juga sependapat. Mama akhirnya setuju. Setelah mematangkan detailnya, dalam minggu itu juga mama menghubungi pengacara mama untuk mengurus dan mengatur hal ini.

Kurang dari sebulan aku, mama, kak Erni, pengacara mama, pengacara perusahaan papa, Tante Vera, Om Dedi dan Tante Rika serta direksi perusahaan papa bertemu kembali. Aku, mama, dan kak Erni berbicara bahwa kami amat senang dan berterimakasih dengan warisan yang kami terima, namun tanpa bermaksud tidak menghargai, kami memutuskan untuk tidak menjadi pemegang saham mayoritas, dan bermaksud melepas saham kami. Om Dedi dan Tante Rika tidak terkejut karena memang tahu bahwa mama sudah sukses dengan perusahaannya. Aku juga menyatakan melepas hak dan penunjukkanku sebagai pemegang perusahaan nantinya, dan meminta agar para direksi yang nantinya memutuskan penggantinya. Adapun nantinya mama melepas semua 10 % sahamnya, aku dan kak Erni masing – masing melepas 20 % saham, sehingga hanya memegang masing – masing 10 % saham saja, dan memilih menjadi pemegang saham pasif saja. Jadi total kami melepas 50 % dengan prioritas kepada pihak – pihak yang hadir di ruangan ini.. Pengacara mama yang akan menerima penawaran sesuai nilai terkini dan mengatur detailnya. Setelah selesai memberikan penjelasan dan beberapa pertanyaan, akhirnya kami bubar.

Pada akhirnya keputusan telah dibuat, tante Vera tidak berminat dan memang sudah bahagia dengan haknya, kini ia menjadi janda yang kaya, karena yang diberikan papa lebih dari cukup, juga setiap tahun mendapat hasil yang lumayan dari sahamnya. Dia hanya menginvestkan modal ke beberapa rekannya. Om Dedi akhirnya membeli 20 % tambahan, dan menjadi pemegang saham mayoritas, sedang tante Rika membeli 10 %. Sisa 20 % dibeli beberapa direksi, pada akhirnya perusahaan papa tetap diteruskan keluarganya juga yaitu adiknya : Om Dedi yang secara bulat dipilih menjadi penerus papa, dengan Om Damar menjadi wakilnya. Uang yang kami terima kemudian aku dan kak Erni berikan ke mama untuk mama atur di Perusahaannya dan tabung sebagai hak kami, sedangkan asset papa lainnya seperti rumah dan kendaraan yang kami terima, kami juga jual saja, karena memang tidak terlalu kami butuhkan dan tidak mau repot mengurusnya. Perusahaan papa juga tetap berkembang dan berjalan dengan baik. Setiap tahun aku dan kak Erni mendapatkan pembagian dividen yang lumayan, yang kami tabungkan.

Sedangkan tante Vera...??? Tentu saja dia tetap sering menelepon aku, minta ditemani dan dipuaskan, kini aku melakukannya di rumahnya setiap kali di menelepon atau kalau aku memang lagi ingin, biasanya setelah aku pulang kuliah. Tidak ada yang mengetahui hubungan kami, dan tetap akan kami rahasiakan. Hubunganku dengan mama, kak Erni dan tante Ani juga masih berlanjut dengan mulus.


Bersambung....Episode pamungkas : Pelabuhan Hati, di mana akhirnya Irwan menemukan tambatan hatinya, siapa dia, di mana Irwan bertemu..?? Episode yang diwarnai romantisme, tunggu saja....!!!!