Irwan 5 : Pelabuhan Hati, Ketika Hati Bertaut

Tak terasa kini aku sudah memasuki tingkat 3 kuliahku, usiaku hamper 21 tahun, mama sendiri kini sudah berusia hampir 41 tahun. Kak Erni sendiri sudah hampir selesai kuliahnya, bentar lagi wisuda, masih pacaran dengan Kak Indra, tampaknya awet sekali hubungan mereka dari SMA. Aku sendiri masih terus menjalin hubungan dengan mama, kak Erni, tante Ani dan tante Vera. Di luar itu aku juga pernah beberapa kali melakukannya dengan anak kampusku, baik setingkat, anak tingkat atas atau bawah, sejurusan atau jurusan lain. Juga pernah dengan dosen yang bahenol. Namun untuk teman dekat atau pacar tetap saja belum punya, bukannya tidak mau, tapi belum ketemu juga yang pas dengan hati dan kriteriaku. Mama sendiri juga tak hentinya menanyakan da mendorongku untuk mencari pacar, aku hanya bisa mesem saja.

Pulang kuliah, aku pacu motorku, tidak ada kegiatan atau tujuan, mau ke tante Ani atau tante Vera malas. Ke mana ya enaknya, ah main ke kantor mama saja, sudah cukup lama tidak ke sana. Aku mampir sebentar ke restaurant, beli makanan buat aku dan mama, biasanya mama memang makan siang di kantornya agak siang sedikit. Lalu kuarahkan motorku ke daerah kantor mama. Kantor mama sendiri baru pindah, perusahaannya baru membangun kantor 5 lantai, tadinya menyewa di gedung X, namun biayanya mahal, lalu akhirnya diputuskan membeli tanah dan membangun gedung sederhana sendiri, sebagai kantor pusat dan juga hitung – hitung asset. Kuparkir motorku, satpam yang melihatku menyapaku, sudah kenal. Lalu aku masuk ke dalam, bercakap sebentar dengan receptionist dan beberapa karyawan, lalu segera menuju lantai 5, ruangan mama. Lantai 5 memang tempat mama dan juga ruangan beberapa direksi lainnya. Namun ruangan mama paling besar. Sekretaris mama tersenyum melihatku, kami bicara sebentar, lalu sekretaris mama menelepon ruangan mama, memberitahu kedatanganku. Tak lama aku sudah duduk di sofa dalam ruangan mama. Kutanya mama sudah makan ? Lalu mama menelepon ke ruang pantry meminta OB mengantar piring ,sendok, dan minuman. Tak lama terdengar ketukan di pintu. Setelah OB tiba, dia segera menuang makanan ke piring dan lalu meninggalkan ruangan. Mama lalu menelepon sekretarisnya, meminta agar sejam ke depan jangan diganggu dan menahan telepon masuk, karena mau istirahat dulu.

Mama lalu berdiri, melepas blazernya, aku yang lagi mengawasi mama mendadak jadi mau...segera aku berdiri, berjalan ke arah mama, lalu memeluk mama dari belakang, kuciumi lehernya yang putih, tanganku mulai meremas – remas teteknya di balik kemeja kerjanya. Mama menggelinjang kegelian, berusaha menepis tanganku perlahan.

”Wan..., ngapain sih ah kamu ini...ini kan di kantor, nanti saja di rumah,”
”Ah...Irwan lagi kepingin nih ma, lagian sekali – kali ganti suasana dong.”
”Duh, kamu ini macam – macam saja, ya sudah mama juga mau deh, tapi jangan lama – lama ya, sana kamu kunci pintunya,”
”Oke boss...”

Aku dan mama tidak khawatir ketahuan atau terdengar, karena ruangan mama berada di pojokan dan dindingnya tebal. Dengan cepat aku mengunci pintu dan segera kembali ke mama, kini aku dan mama berhadapan, segera kucium bibirnya, mama juga balas menciumku, tangannya meremas tongkol di balik celanaku, aku jyga segera membuka kancing baju mama satu persatu, nampak tetek besarnya yang terbungkus BH ketat, kulepaskan kaitan Bhnya, segera saja mulutk melumat tetek mama, aroma tubuh mama yang masih bekerja di kantor terasa enak di hidungku, menambah ransangan. Sementara tangan mama mulai membuka kancing celanaku, memelorotkan celana dan CD ku, membebaskan penghuninya, kini tangan mama menggenggam dan mengocok – ngocok tongkolku. Sementara itu kini aku mulai menciumi ketek mama, tanganku juga melepaskan rok dan CD mama, kini kami sudah sama – sama telanjang. Aku lalu duduk di pinggir meja kerjanya, mama berlutut mulai memberi tongkolku kuluman dan hisapan nikmat dengan mulutnya. Aku remas – remas rambut mama. Tidak terlalu lama mama meng- oralku. Lalu aku turun dan gantian mama kududukkan ke meja, kakinya terjuntai ke bawah, kurenggangkan kakinya, melebarkan memiawnya yang indah dan menawan. Aku berjongkok dan mulai membasahi memiawnya dengan jilatanku, kujilati lobang memiawnya dan itilnya sesaat, hanya agar basah saja dan memudahkan penetrasiku. Tdak perlu lama – lama kali ini, nanti kalau di rumah bisa lama, saat ini secukupnya saja. Setelah kurasa memiaw mama sudah basah dan terlumas dengan baik, aku segera berdiri, kutarik sedikit kaki mama ke depan , lalu tongkolku yang sudah dalam kondisi sempurna dan terbaiknya segera kuarahkan ke lobang memiawnya.... jleebb...mama agak mendesah saat tongkolku menerobos lobang memiawnya. Enak sekali....lalu aku mulai memompa tongkolku, mula – mula perlahan lau kecepatannya makin bertambah. Sementara mama yang tahu aku suka dengan bulu keteknya, mengangkat kedua tangannya ke atas memperlihatkan bulu keteknya, tanganku segera membelai dan memainkan keteknya bergantian sambil meremas – remas tetek besarnya. Mama makin melebarkan kakinya, memudahkan sodokan tongkolku, mulutnya mulai mendesah merasakan nikmat dunia. Sesekali saat menarik keluar tongkolku, posisinya kumiringkan ke atas biar makin menggesek itilnya. Sesekali kami berciuman dengan hangat dan mesra. Aku kini memompa tongkolku pada kecepatan penuh, keluar masuk dengan cepat. Mama makin menggoyangkan pinggulnya, tangan mencengkram erat pundakku, kakinya mengapit pantatku, desahannya makin cepat, dan akhirnya muncratlah cairan orgasmenya. Aku segera menghentikan pompaanku, kucabut tongkolku dari memiawnya yang sudah basah itu.

Segera mama kusuruh berdiri, kubalikkan badannya, aku di belakangnya, mama kini kusuruh nungging, tetek besarnya menempel di kaca meja kerjanya, kakinya kurenggangkan, lalu kusarangkan tongkolku ke lobang memiawnya dari belakang. Tanganku memegang pantatnya. Segera saja kumulai pompaanku dengan cepat. Sesekali tanganku menepak lembut pantatnya. Jariku terkadang memainkan lobang pantatnya. Tangan mama tak mau ketinggalan , diarahkan satu tangannya ke memiawnya dan mulai memainkan itilnya. Kumaksimalkan pompaan secepat dan sedalam mungkin, tanpa jeda, mama hanya mengerang dan mendesah saja..aku juga merasakan aku mau klimaks sedikit lagi. Segera aku tindih badan mama dan tanganku meremas kuat teteknya saat aku semprotkan spermaku ke dalam lobang nikmatnya. Setelah diam sesaat, aku cabut tongkolku, mama lalu jongkok menjilati sisa spermaku. Mama kemudian mengambil tissue membersihkan memiawnya dan tongkolku. Lalu mama dan aku berpakaian, aku tak lupa membersihkan meja mama dari bekas keringat dan bekas tubuhnya. Setelah membuang tissue ke tong sampah, aku dan mama lalu duduk di sofa tamu untuk menyantap makan siang. Mama dan aku bercakap – cakap ringan...

”Dasar kamu nggak sabaran amat sih Wan..., nanti di rumah kan bisa sepuasnya..”
”Ah sesekali ma, buat variasi, kalau di rumah nanti lain lagi..hehehe”
”Huhh...maunya tuh...,” mama hanya tertawa meledekku, lalu kami teruskan makan sambil bercanda, ketika selesai mama menelepon ruang pantry, menyuruh OB membereskan piring. Setelah OB selesai membereskan, mama masih duduk di sofa, masih santai, dan mulai berbicara lagi, agak serius..

”Wan, kamu kan sebentar lagi sudah selesai kuliah. Lagipula setelah pulang kuliah kan,waktu luang kamu banyak, gimana kalau kamu sepulang kuliah kamu sering ke kantor, mulai belajar bekerja.”
”Maksud mama magang...?”
”Bukan magang sih tepatnya, nantinya kan kamu dan kakak kamu yang akan meneruskan usaha mama, jadi mama kira sudah saatnya kamu belajar mengelola perusahaan ini, jadi saat kamu sudah kelar kuliah, kamu sudah bisa paham. Nantinya kak Erni pun akan mama tawarkan, namun karena dia wanita, tentu saja mama tidak keberatan kalau memang seandainya dia di kedepannya nantu memilih menjadi ibu rumah tangga mengikuti suami, sedang kamu sebagai anak lelaki, tentunya mama berharap lebih.”
”Boleh saja ma, tapi tidak harus tiap hari kan...?”
”Ya...ya.., mama sih mengharapkan kamu bisa serius, mungkin pertamanya kamu masih canggung, tapi mama yakin kalau kamu sudah paham dan mengerti dunia kerja kamu malah akan menyukainya. Gimana kalau mulai besok kamu coba.”
”Baiklah ma, memang ada benarnya kata mama, nggak ada salahnya Irwan mulai belajar tentang bisnis mama, toh nantinya Irwan yang akan meneruskan. Oke, Irwan setuju, tapi dengan syarat...”
”Syarat apaan yang...???”
”Ruangannya di sini ya, seruangan sama mama hehehe...”
”Huh...dasar nih anak, kagak ada puasnya...”

Akhirnya aku mulai belajar bisnis mama. Walaupun sudah mengenal dan dikenal oleh hampir semua karyawan, namun mama memperkenalkanku secara resmi, dan menjelaskan bahwa mulai hari itu aku akan mulai belajar sedikit demi sedikit di perusahaan, mama juga berpesan jangan melihat aku sebagai anaknya, bila memang harus tegas dan perlu dinasehati jangan sungkan. Ini demi proses pembelajaranku. Para karyawan dan direksi lainnya juga tahu bahwa suatu hari nanti aku yang akan menerus usaha mama dan memimpin mereka, jadi mereka mengajari dan membimbing aku dengan terbuka dan serius. Jadi sepulang kuliah aku segera ke kantor mama, awalnya memang masih agak malas, kadang 2 hari sekali, namun seperti kata mama, lama kelamaan aku mulai menyukai kondisi dunia kerja, ada yang sejalan dengan teori yang kudapat dari kuliah, namun lebih banyak praktek dan situasi langsung sesuai kondisi. Aku mulai rajin dan datang secara rutin setiap hari, kalaupun tidak datang itu jarang. Bahkan saat libur kuliah, aku berangkat dan pulang bareng mama. Para karyawan mama juga senang, karena menurut mereka aku cepat belajar dan mau menerima arahan, juga memiliki jiwa bisnis seperti mama. Pada kak Erni yang sebentar lagi wisuda mama juga menawarkan untuk ikut bekerja, namun kak Erni bilang dia mau mempraktek ilmu psikologinya di Bandung dulu, nanti kalau sudah merasa cukup dia akan bergabung, mama setuju saja. Dengan rutinnya aku sepulang kuliah ke kantor mama, bukan berarti ’jam senangku’ berkurang, dengan mama bahkan bisa langsung di ruangannya. Dengan kak Erni, tidak masalah karena biasanya kami melakukan kalau dia pulang ke Jakarta. Dengan tante Ani, juga tetap biasa. Dengan tante Vera mungkin agak bergeser jamnya, biasanya bisa siang sepulang kuliah, namun kini aku bilang ke mama, kalau sudah pulang jam kantor, aku mau main ke rumah teman atau ketemu teman di sini atau di situ dulu, biasanya mama tidak masalah, mungkin dia pikir biasanya aku main sama teman sepulang kuliah, namun kini bergeser sepulang jam kerja.

Sore itu aku sudah berada di rumah tante Vera, dia sudah tahu kegiatan baruku. Tante Vera kini tinggal dengan pembantunya, pembantunya sendiri sudah agak tua, selalu berada di dapur atau di kamarnya, hanya akan datang jika dipanggil, tipenya memang penurut dan tidak banyak omong. Aku sendiri diperkenalkan sebagai Anak tirinya. Sore itu tante Vera mengenakan baju tidur yang seksi sekali, sedikit transparant, aku dan dia sih memang sudah paham, setiap ketemu pasti ujungnya ya akan begituan. Lekuk tubuhnya nampak jelas, belahan dadanya terbuka lebar, seakan baju tidur itu tak mampu menampung teteknya yang cukup besar. CD hitamnya nya agak terlihat kontras dengan baju tidurnya. Glek...tanpa sadar aku meneguk ludah. Walau pernah kuutarakan bahwa aku suka jika wanita memelihara bulu ketek, namun nampaknya tante Vera enggan dan tetap membiarkan keteknya bersih terawat, ya sudah tak apa, toh itu sesuai selera masing – masing orang. Di meja telah tersedia kopi dan kue. Dipersilahkan aku minum dan memakan kue. Kami lalu mulai bercakap..

”Gimana kerjanya...? Senang nggak..?”
”Bukan kerja sih tan, aku baru tahap belajar, dan jujur saja aku memang mulai menikmatinya.”
”Pantaslah, terlihat dari wajah kamu yang lelah, kasihan, capek sekali tampaknya..”
”Iya sih, tapi aku senang kok...”
”Ayo habiskan kopimu, tunggu tante sebentar di kamar, nanti akan tante buat kamu rileks..”

Lalu aku segera menghabiskan kopiku, dan berjalan ke kamarnya, segera kubuka baju dan celanaku, hanya tinggal CD saja, dan segera membaringkan diri, aku pejamkan mataku, memang cukup lelah aku, dari luar terdengar suara tante Vera memanggil pembantunya, tak lama terdengar suara percakapan, aku sebenaranya penasaran, selama ini entah apa yang ia bilang ke pembantunya kala aku ada di kamarnya, tapi bodoh amat, pembantunya juga tampaknya tidak banyak omomg dan tidak mau tahu urusan majikannya. Lalu tante Vera masuk kamar, mengunci pintu, tersenyum padaku, menanggalkan baju tidur, BH dan CDnya kini sudah telanjang bulat, lalu segera ke arahku, dipelorotkan CD-ku. Tanganku mulai jahil, tapi segera ditepis, dan ia tersenyum sambil bilang sabar dulu, biar aku tetap berbaring dan dia buat aku rileks dulu. Disuruhnya aku tengkurap, kudengar ia membuka laci. Tak lama aku merasakan punggungku di tetesi baby oil, tangan halusnya mulai memijat pundak dan punggungku, kurasakan rambut kemaluannya bergesekan dengan pantatku. Tidak hanya tangan, tetapi sesekali teteknya ditempelkan ke punggungku, pijat tetek nih pikirku, bisa saja tante Vera. Lepas dari punggung, tangannya mulai memijat dan memainkan pantatku, enak sekali tangannya membelai dan memujat pantatku. Tanpa sadar tongkolku mengeras, posisinya agak kurang nyaman nih, sambil tengkurap sih....untunglah tak berapa lama tante Vera, menyuruhku berbalik, kini ia menduduki perutku, kembali kurasakan gesekan rambut kemaluannya di atas perutku, kembali badanku ia tetesi baby oil, lalu tangannya mulai memijat dadaku, matanya terus menatapku, seksi sekali. Tanganku kini mulai membelai dan memainkan teteknya yang menggelantung indah di hadapanku. Sesekali ia juga menggesek dan memijat dada dan perutku dengan teteknya. Akhirnya ia turun ke arah tongkolku yang sudah berkibar dari tadi. Agak merendah, ditaruhnya tongkolku di antara belahan teteknya, ditangkupkan tangannya menjepit kedua teteknya, tongkolku terjepit pasrah di tengahnya, lalu ia mulai mengocok tongkolku. Oh...Nyamannya, membuat rasa lelahku hilang, rasanya nikmat, karena tetek tante Vera itu masih kencang dan keras, jadi rasa jepitannya mantap. Tanpa sadar aku mendesah, tante Vera hanya tersenyum melihat ulahku. Cukup lama dia memberiku Titfish, lalu ia mulai menjilati tongkolku dengan lidahnya, memainkan kepala tongkolku dan menjilati batang dan bijiku. Akhirnya mulutnya mulai menghisap dan mengemut – ngemut tongkolku, top banget rasanya. Aku hanya bisa meremas rambutnya, apalagi sambil menghisap, matanya tak hentinya memandangku, nafsuin banget.

”Tan, nanti aku mau nyodok pantat tante ya...”
”Hmmmpp...Hooollleehhh.” katanya sambil sibuk mengulum tongkolku.
”Tan, balik dong, nggak enak nih nganggur, kasih memiawnya sini, biar aku bisa basahi.”

Segera tante Vera memutar badannya, 69, kini aku mulai melebarkan belahan memiawnya, kugosok dengan jariku, lalu kulebarkan, nampaklah lobang memiawnya yang kemerahan mengundang. Lidahku segera menggempurnya, tiada satu bagian yang tersisa dari sapuan lidahku, lobang memiawnya kusodok dengan ujung lidahku, lalu jariku menggantikan lidahku mengocok lobang memiawnya, kini lidahku sibuk menjilati itilnya, tante Vera agak kelojotan saat itilnya kumainkan habis – habisan dengan lidahku, hisapan mulutnya di tongkolku makin kuat. Puas dengan itilnya, segera kumainkan lobang pantatnya, jariku tak ketinggalan sesekali menyodoknya, akhirnya kuambil baby oil dan kutuangkan ke wilayah lobang pantatnya. Lalu aku bilang ke tante Vera, aku sudah tidak sabar nih mau masukkin tongkolku, dia segera menghentikan kulumannya, melihatku, menunggu posisi yang kuinginkan dan aku memberikan kode agar ia berbaring.

Aku segera menekuk kedua lututnya, kurenggangkan kakinya melebar, yes...pantat dulu pikirku, kuolesi baby oil ke tongkolku, lalu perlahan jariku mulai melebarkan lobang pantatnya, pelan – pelan kusodokkan tongkolku ke lobang pantatnya, wajahnya agak mengernyit, terdengar rintihannya pelan, aku mulai menekankan sedikit demi sedikit tongkolku, akhirnya masuk semuanya, kulihat wajahnya masih mengernyit, aku diam sebentar, memberikan waktu baginya dan aku untuk membiasakan diri. Lalu perlahan mulai kupompakan tongkolku, mula – mula agak pelan, lalu ketika lobang pantatnya makin mekar dan melebar kupompa dengan normal. Kini sudah lancar dan enak, kulihat wajahnya juga sudah menikmati, maka pompaanku mulai kupercepat. Mulutnya mendesah dan tangannya mulai memainkan putingnya sendiri, jariku sendiri sibuk memainkan itilnya. Cukup lama aku memompa tongkolku sambil memainkan itilnya.

”Oh Yesssss...Ohhhh.......Yeaahh..”
”Cepeeettt.....Wannnn....Hhhhhh”
”Dikkkiiiiitttt .......lllaaaaaaggiiiii”

Crot...kurasakan cairan hangat di jariku, saat memiawnya menyemburkan orgasmenya, segera kuarahkan jariku ke mulutnya, dan dia menjilati jariku tersebut. Aku terus memompa pantatnya, kini kucabut tongkolku dan, karena memiawnya sudah basah, mudah saja tongkolku menerobosnya. Kupompa dengan cepat, kini mulutku mulai bergerilya menggerayangi leher, bibir, tetek dan putingnya, Kurasakan tante Vera mendesah dan menggeliat, sementara tongkolku bergantian menyodok lobang memiaw dan lobang pantatnya. Kini mulutku dengan nyaman menghisap putingnya, sesekali kugigit lembut. Sodokan tongkolku kini di lobang pantatnya, makin cepat dan kuat, desahannya makin liar dan tangannya sesekali meremas rambutku. Kurasakan tubuhnya menggeliat makin kuat, aku sendiri juga sudah dekat batasku, lalu dengan waktu hampir bersamaan kami klimaks. Sensasional dan nikmat. Kucabut tongkolku dan berbaring di sampingnya. Tante Vera menjilati tongkolku dan membersihkan sisa spermaku. Lalu berbaring di sampingku dan memelukku.

”Tante puas deh kalau sudah kamu masukkin,yang...”
”Sama – sama tan, aku juga puas, sama – sama enaklah, kagak ada masalah.”
”Ya sudah kamu siap lagi kan...???”

Sebelum pulang, aku masih sempat menghajarnya 2 ronde lagi, dan aku pulang meninggalkn tante Vera yang lemas tapi tersenyum puas. Sebelum pulang ia menciumku dan memintaku untuk sering datang. Tidak masalah pikirku, untuk sesuatu yang nikmat, mana mungkin aku menolak. Tinggal sesuaikan dengan jadwalku saja.

Tanpa terasa kini sudah 6 bulan aku belajar bekerja di tempat mama, semua unit dan divisi kusinggahi, aku memang harus memahami dan mengerti fungsi semua divisi. Biasanya aku ada di tiap divisi sampai aku sendiri benar – benar merasa mengerti dan paham sistem, cara dan alur kerjanya. Setelah itu aku akan pindah, para karyawan dan kepala divisi sendiri amat membantu, mereka memberiku juga tugas untuk kukerjakan sambil mengetes sejauh mana pemahamanku, dan nampaknya mereka senang atas cara kerja dan pemahamanku, kalau kata mereka otakku encer dan cepat beradaptasi. Tanpa terasa semua divisi sudah kusinggahi, kadang kalau aku libur dan memang ada waktu mama atau karyawan yang lain akan mengajakku bila ada tugas ke daerah atau kantor cabang. Pokoknya secara bertahap aku mulai menunjukkan progress dan kemampuanku. Mama sendiri senang dengan laporan yang diterimanya, mama percaya laporan yang diterimanya bukan hanya karangan bawahannya agar dia senang saja, namun mama juga mengamati sendiri. Biasanya kalau mama senang, aku langsung mendapat hadiah special di ruangannya hehehe. Secara dasar aku sudah paham, tinggal memantapkan dan mendalami saja mengenai unit – unit dan divisi bisnis.

Dari semua itu, aku kini mulai dan memang mama wajibkan untuk lebih mendalami divisi keuangan, karena memang di situ adalah salah satu titik vital perusahaan. Divisi ini sendiri dikepalai oleh Pak. Budi, dengan 10 karyawan di dalamnya. Aku jujurnya memang suka berada di divisi ini, karena memang sesuai dengan ilmuku, dan merasa tertantang untuk memahaminya. Dari semua itu ada satu alasan penting....

Namanya mbak Yanti, usianya 25 tahun, 4 atau 5 tahun lebih tua dariku, posisinya kini supervisor divisi keuangan di perusahaan mamaku. Awalnya memang biasa saja, wajahnya memang cantik sekali, dan secara kriteria fisik memang sesuai kriteriaku, kuning langsat, tinggi sekitar 170 CM, dadanya juga besar walau sering memakai baju kerja longgar, namun mataku yang sudah terlatih tahu pasti itu. Wajahnya yang sudah cantik, makin cantik saja karena kalau dandan juga secukupnya, malah terlihat natural.
Jujurnya, secara fisik amat menarik, namun awalnya memang aku tidak ada perasaan apapun, tapi memang kedekatan bisa tumbuh kalau sering bertemu dan berkomunikasi. Aku sangat menyukai berbicara dengannya, orangnya cerdas, polos, apa adanya, dan juga tidak canggung bicara denganku yang anak boss, gayanya netral saja seperti aku rekan kerjanya, amat natural. Untuk urusan kerja amat professional dan pandai, pak Budi sendiri amat mengandalkannya. Karena Pak Budi tidak mungkin mendampingiku setiap aktu, maka ia mempercayakan mbak Yanti untuk membimbingku, aku dan dia bisa bekerjasama dengan baik, dia mengajariku dengan tekun dan juga senang karena kau cepat mengerti. Dari yang kutahu, dia sudah 3 tahun bekerja di perusahaan mamaku, sebenarnya dulu juga aku sudah kenal, tapi ya cuma kenal saja, karena aku jarang ke kantor mama dan juga jarang bertemu dengannya, kini saat aku mulai intens belajar di kantor mama dan sering bercokol di divisi keuangan, mau tak mau sering ketemu dengannya. Dulu mama sering ada urusan sama bank X, kebetulan kepala cabangnya Pak Suryo, mempunyai anak perempuan yaitu mbak Yanti, kuliah jurusan ekonomi, yang sedang mau skripsi dan butuh magang, dia menanyakan ke mama, apakah boleh ditempatkan di perusahaan mama, mama mempersilahkan. Rupanya prestasi dan kemampuan bekerjanya dinilai amat baik oleh Pak Budi, dan karyawan lainnya, juga orangnya supel dan komunikatif, Pak. Budi merekomendasikan untuk merekrutnya karena bisa menjadi asset yang baik bagi Perusahaan. Ketika mama menawarkan bekerja selepas wisud, mbak Yanti setuju, dan dalam waktu singkat karena memang pandai dan kompeten sudah bisa menjabat supervisor. Mama sendiri mengakui dan menghargai kemampuannya. Ayah mbak Yanti sudah pensiun dan memilih menetap di kota keluarganya Semarang, meneruskan usaha keluarganya, bersama istri dan adik Mbak Yanti, jadilah kini mbak Yanti sendiri menempati rumah orang tuanya di Jakarta.

Awalnya aku sering memanggilnya Mbak, namun suatu hari dia memintaku memanggilnya dengan namanya saja, umurku dan kamu kan nggak beda jauh Wan, aku malah canggung dipanggil Mbak sama kamu, begitu katanya. Aku sendiri tak tahu apa yang berkecamuk di dadaku setiap berada dekat dan bicara dengannya, rasanya indah saja, kalau dia kebetulan dinas memeriksa keuangan kantor cabang atau sedang sakit, rasanya sunyi banget di kantor. Aku mulai sering memikirkannya, dan sering menelepon atau mengirimkan SMS saat di rumah. Aku nyaman dan bahagia dekatnya. Apakah ini yang namanya cinta...??? Dadaku berdebar kalau memikirkannya. Aku sering mengajaknya makan siang bersama, kadang sepulang kantor aku ajak dia jalan ke mall, atau makan, lalu mengantarnya pulang, dia juga tidak menolak. Tapi aku tidak tahu pakah dia sudah punya pacar atau menganggap aku sebagai apa baginya...belum pernah aku sebingung dan seberdebar ini, pusssiiiingggg, ya tapi ini adalah bagian dari perjalanan hidup, aku memutuskan untuk menyatakan perasaanku. Karena belum pernah menyatakan cinta kepada wanita, jujur saja aku bingung juga, namun ini patut dan harus kucoba. Suatu hari, Jumat sore, sewaktu mengantarnya pulang, aku mampir dan menunggunya yang menyiapkan minum untukku. Ketika dia datang, kami mulai bicara ringan saja, sampai akhirnya..

”Yan, boleh aku tanya sesuatu ke kamu...?”
”Tanya apaan sih,Wan, serius amat sih...ya bolehlah.”
”Enggg...enggg...anu...”
”Anu apaan sih...kok bingung gitu....?”
”Kamu sudah punya pacar belum....?”
”Duh...kamu mau nanya itu saja kok bingung, dulu aku pernah pacaran, 2 kali namun memang belum jodohku, kini aku sedang menikmati pekerjaanku, Wan, jadi walau saat ini aku sendiri, aku tidak terlalu memikirkannya. Kenapa kamu nanya kayak gini ? ”
Deg....Yes...yes....dia masih sendiri...dia masih sendiri...sorakku dalam hati, lalu setelah menghela nafas dan menenangkan diri aku lanjutkan bicaraku

”Yan, gimana ya...kamu mau percaya atau tidak terserah, aku juga bingung ngomongnya, sampai detik ini aku nggak pernah pacaran, tapi aku suka sekali sama kamu, baru kali ini dalam hidupku aku merasakan hal seperti ini, kamu ma...mau jadi pacarku...?”
”Ha...?”
”Aku tahu aku mungkin tidak sempurna, namun aku mau berusaha menjadi yang terbaik buat kamu.”
”Stop...stop dulu, Wan.”
”Ngg.., aku salah ngomong ya, kamu marah…?”
“Nggak, dengar dulu, Wan, jujur aku kaget mendengarnya. Aku akui kamu memang ganteng dan menarik, namun aku ini lebih tua darimu, lebih pantas jadi kakakmu, juga apa kata mama kamu. Maaf ,Wan, jangan marah ya...aku menganggap kamu sebagai sahabat yang baik.”
”Hei....hei...Yan, beda usia bukan alasan, beda usia kita tidak jauh kan..? Terus apa hubungannya sama mamaku..? Bukan dia yang menjalankan hubungan ini, tapi aku, lagipula kalau aku menjalani hubungan yang baik, pastinya dia tidak akan keberatan, ini masalah hati, tidak ada hubungan dengan Perusahaan, mamaku atau aku ini anak siapa. Aku jujur dengan perasaanku, aku memang menyukai dan mencintaimu, aku bisa terima kalau kamu menolakku dengan alasan memang kamu tidak menyukaiku, tapi kala alasannya umur atau urusan kerja, nggak bisa dong Yan. Sekarang aku sudah jujur, kuharap kamu mau jujur dan memberikan jawaban sesuai hatimu.”

Aku mengatakan semuanya dengan tenang, walau jengkel namun kutekan emosiku. Yanti nampak tercengang mendengar perkataanku. Suasana jadi canggung dan lama kami terdiam, akhirnya aku minum minumanku. Lalu terdengar suara Yanti.

”Wan, beri aku waktu ya, jangan menuntut jawabanku sekarang. Biarkan aku memikirkannya. Aku pasti akan menjawabnya. Hanya beri aku waktu.”
”Baiklah...aku tidak akan memaksa, aku juga tidak mau kamu menjawabku karena terpaksa. Sekarang aku pamit dulu ya Yan. Sampai nanti.”

Lalu aku berdiri, Yanti mengantarku samapi depan, lalu aku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, mama sudah menunggu, aku bilang habis dari mall sebentar, cari CD music. Mama mengajakku makan. Pikiranku entah ke mana. Malamnya aku melakukan hubungan dengan mama, tapi tidak konsentrasi, juga hanya satu kali saja. Besoknya belum juga ada kabar. Minggu pagi juga sama. Bete, tegang, grogi campur satu, butuh pengalih stress nih, ah ke mana enaknya...?? Kuambil HP ku, kutelepon tante Ani, kubilang aku lagi mau nih, tapi dia bilang ada Om Heri di rumah, sebenarnya dia juga mau, akhirnya dia bilang ketemu di hotel X saja sejam lagi, nanti dia akan bilang ke Om Heri mau ke rumah temannya. Segera aku mandi, pamit ke mama, bilang mau ke kampus ada acara kemahasiswaan, pulang agak sore. Segera kupacu motorku. Hotel X sendiri termasuk hotel bagus dan agak mahal, tidak masalah, tabunganku kan banyak,nggak akan berkurang, kadang tante Ani yang membayar, tidak terlalu sering sih kami ke hotel, hanya kalau sama – sama mau dan situasi tidak mendukung, kami memilih hotel yang agak bagus, sebab lebih aman, dan privacy terjaga, ku telepon HP tante, dia masih di taxi sedikit lagi sampai. Aku segera menuju receptionist, memesan kamar, mengisi data, membayar dan diantar bellboy ke kamar. Kuberi uang tip. Kuangkat telepon memesan minuman dan makanan ringan ke Room Service, ku SMS tanteku memberitahu nomor kamarnya. Biasanya tanta akan segera menghapus SMS nomor kamar, takut Om Heri membacanya. Tak lama Room Service datang. Lalu tante Ani sampai, langsung ke kamar, praktis kan ? Nggak berbelit lagi, sampai lobby, langsung ke lift dan menuju kamar.

Tante Ani memang sudah agak lama tidak berhubungan, anaknya kini sudah 2, yang paling kecil baru setahun kurang. Tante Ani duduk dan meminum minuman yang kupesan, kuperhatikan bagian dadanya, memang nampak lebih besar, karena masih menyusui. Tante Ani sadar aku sedang melihatnya.

”Tumben, Wan, memang tante juga sudah lama nggak main sama kamu. Jatah kamu dari mamamu kurang.?”
”Ah nggak kok tan, memang sudah lama sih, Irwan kangen, juga lagi mau nenen susu.”
”Ya sudah sabar dulu, tante juga sudah lama nggak ngerasain tongkol kamu, tapi tante santai dulu. Santai saja, tadi tante bilang ke Om kamu ada perlu mau antar teman cari baju, jadi pulangnya agak lama, lagipula dia tidak akan kehilangan, sibuk main sama anak – anak.”

Aku kembali duduk, tante Ani kini nampak sudah mulai rileks, lalu dia berdiri dan berjalan ke arah tempat tidur, dia mulai membuka baju dan celananya, lalu berbaring hanya mengenakan BH dan CD berenda, dia memanggilku, katanya biar aku yang buka. Tanpa disuruh lagi aku segera berdiri, membuka baju dan celanaku, CD ku, segera kunaik ke atas tempat tidur, makin mempesona saja tubuh tante Ani. Aku mulai meraba BHnya , teteknya makin besar saja, kubiarkan tanganku meremas teteknya yang masih ber BH itu
Sedang tanganku yang lain mengelus gundukan di balik CDnya, tongkolku mulai On. Kuangkat tangannya, kujilati dan kuciumi bulu keteknya bergantian...harum parfum dan aromanya sangat merangsang. Lalu kulepaskan BHnya....Wooow...teteknya seakan meloncat keluar, memperlihatkan putingnya yang besar, tanganku yang satu segera memelorotkan CD nya. Kini aku berbaring di sampingnya, tante Ani paham dan agak menaikkan dan memiringka tubuhnya, mengarahkan kedua tetek besarnya ke arah mukaku. Segera saja mulutku dengan rakus menyerbunya, putingnya mula – mula kujilati lalu kuhisap dengan gemas, nampak cairan susu yang sudah familiar membasahiku mulutku. Sementara teteknya tengah kugempur, tangan tante Ani mulai membelai biji dan tongkolku, sesekali dikocoknya batang tongkolku. Aku masih belum puas menetek dari teteknya. Bergantian putingnya kuhisap. Kini puting itu sudah membesar dan mengeras. Sesekali kudengar desahannya. Kembali aku menyerbu keteknya. Puas dangan itu, aku kembali berbaring. Tante Ani langsung turun ke arah tongkolku, lidahnya menjilati bijiku dahulu, lalu mulutnya mulai mengulum dan menyedot – nyedot lembut bijiku, tangannya meremas dan mengocok batang tongkolku. Puas memainkan bijiku, konsentrasinya diarahkan ke kepala dan batang tongkolku, habis semuanya dia jilati, hisap dan emut – emut. Nampaknya dia lapar juga dengan tongkolku. Kelojotan aku dia oral. Dikulumnya tongkolku dengan cepat dan nikmat, setelah agak lama kurasakan aku mau keluar.Kukatakan aku mau keluar. Maka mulutnya mulai dibukanya, tangannya mengocok tongkolku, akhirnya menyemburlah spermaku ke arah mulutnya dan juga membasahi teteknya.Ditelannya sperma di mulutnya sampai tuntas, lalu dia jilati sisa sperma di tongkolku. Dia berdiri sebentar ke kamar mandi dan mengambil handuk memersihkan sperma di teteknya. Aku berbaring memulihkan kondisi. Baru saja dia kembali dan naik ke atas tempat tidur, segera kuserbu dia, kakinya kulebarkan, kini giliran lidahku memainkan memiawnya, rambut kemaluannya yang lebat kuciumi, kini basah oleh jilatanku, lalu kujilati memiawnya, tercium aroma wangi yang enak, lidahku mulai menjilati itilnya. Itilnya kugoyang ke sana ke mari dengan lidahku, terasa mulai mengeras,jariku dengan cepat menusuk lobang memiawnya. Terdengar desahannya, aku terus saja menggarap itil dan lobang memiawnya. Semakin ia mendesah semakin kuat rangsangannya padaku, apalagi melihat rambut kemaluannya yang luar biasa lebat makin menambah nafsuku. Setelah lama tubuhnya pun mengejang dan mengalami orgasme.

Tanpa banyak buang waktu, segera kutindih tubuhnya, mulutku menyerbu teteknya, sementara tongkolku langsung menerobos lobang memiawnya yang sudah sangat basah, kupompa tongkolku dengan sangat cepat dan setiap sodokan kulakuak sealam mungkin, tante Ani terengah – engah dengan serbuanku, aku benar – benar melampiaskan rasa stressku. Kuhajar memiawnya segila mungkin. Tante Ani hanya bisa mengerang dan mendesah pasrah dan keenakan. Mulutku seakan tak kenal lelah menjilati dan menciumi tetek, puting, bibir, leher san keteknya. Semakin kuat dan cepat sodokanku semakin kuat teteknya bergoyang.

”Ugh.hh...gi..lllaaaa...kaam...muuu Wannnn..”
”Tum...bennnn....Aawwww....kaaa...muuu....nafffssu uuu baa...nggeeett”
”Yesss...Ahhh..Ooooohhhh.....terrusss Wannnn....”

Makin liar saja tongkolku menghajar lobang memiawnya, tanganya hanya bisa memeluk erat pundakku, pinggulnya bergoyang mengimbangi gerakanku, desaham, erangan nikmatnya semakin kuat, dan jebol juga akhirnya dia, kembali orgasme. Aku tetap tidak mengurangi seranganku. Wajah tante Ani kini bercampur aduk, rasa puas, nikmat, enak terlihat, matanya merem melek, kedua tangannya terangkat ke atas, benar – benar sudah pasrah memiawnya dibombardir oleh keponakan tercintanya ini. Entah kenapa walau sudah sekuat dan secepat mungkin aku memompanya, belum juga ada tanda – tanda akan keluar, bahkan tante Ani mengalami orgasme sekali lagi, wajahnya kini sudah lelah, namun penuh kepuasan dan tidak meminta berhenti. Tubuhnya dan tubuhku sudah berkeringat. Sodokanku makin lancar di memiawnya yang basah. Mulutkuterus menjilati keteknya, kupeluk erat tubuhnya. Akhirnya aku merasakan denyut sinyal pada tongkolku, makin erat kupeluk tubuhnya dan tongkolku memuncratkan sperma ke lobang memiawnya.. Aku masih terus memeluknya. Diam, lemas, puas. Akhirnya kucabut tongkolku dan berbaring di sampingnya. Terlihat spermaku mengalir keluar membasahi memiawnya.

”Gila kamu Wan, sampai semaput rasanya tante kamu ent*t kayak tadi.”
”Yang penting tante suka kan.”
”Kamu lagi kenapa sih...?”
”Duh...namanya juga kangen tanteku sayang...”
”Ya sudah...biarkan tante istirahat dulu, nanti kamu bisa mulai lagi.”

Akhinya aku menggarap tanteku 2 ronde lagi, satu di tempat tidur, satu dikamar mandi. Setelah selesai berpakaian, tante menciumku, lalu kami pulang, tante memilih pulang sendiri, jalannya agak mengegang saat kulihat tadi, mungkin memiawnya masih panas kugarap habis – habisan. Akupun segera pulang. Lumayan bisa mengurangi keteganganku. Sesampainya di rumah, aku temani mama mengobrol, lalu mama memasak makan malam, dan sesudahnya kami nonton TV, malamnya aku bilang ke mama aku lagi capek, memang benar sih tadi aku habis – habisan ngent*tin tante Ani, dan memilih tidur di kamarku. Sesampainya di kamar masih jam 10-an, besok aku bolos kuliah saja ah, malas. Kembali pikiranku memikirkan Yanti, mataku tak bisa terpejam. Pusing aku memikirkan jawaban apa yang akan dia berikan nanti. Aku hanya bisa uring – uringan saja di ranjangku, mana mataku tak kunjung mengantuk, hampir 2 jam sudah aku tetap melek, tiba – tiba terdengar bunyi HP-ku ada SMS masuk rupanya, siapa ya..? Tumben malam – malam, aku segera duduk dan mengambil HP-ku . Dari Yanti...deg...jantungku berdetak, sudah 2 hari sejak aku menyatakan perasaanku, sejak saat itu dia tidak menelepon atau membalas SMS-ku, baru sekarang. Dengan tegang kubuka SMS darinya, kubaca isinya :

Wan, terimakasih sudah jujur padaku dan memberi waktu agar aku bisa berpikir. Maaf ya,Wan sejujurnya saja......

Hah, sial kenapa terputus samapai sini saja isinya, aku jadi tegang, kesal, marah, penasaran....sejujurrnya saja..apa...?? Menolakku atau marah padaku. Duh Yanti, tega banget sih kamu bikin aku setegang ini. Lama aku diam, memikirkan apa sebaiknya aku menelepon atau mengirim SMS balik...tiba – tiba HP-ku kembali berbunyi, ada SMS masuk lagi, dari dia Yanti, dengan tegang dan tak sabar aku buka dan baca, isinya singkat saja, aku hanya terpaku dan bengong membacanya :

Aku Juga Cinta Sama Kamu....

Yessssss.....tanpa sadar aku berteriak dan melonjak kegirangan, untung mama sudah tidur, rasanya terangkat sudah keteganganku selama ini. Kubaca dan kupandangi terus kalimat itu pada layar HP- ku, masih belum percaya. Aku hanya bisa nyengir seperti orang bloon saja, ketika akhirnya bisa menguasai emosiku, aku memutuskan untuk meneleponnya, namun kembali HP-ku berbunyi, ada SMS masuk lagi dari dia, segera kubaca dan kubuka.

Ya, kupikir kita bisa mencoba menjalaninya. Kini kamu tidur ya, bicaranya besok saja, mimpi yang indah ya, Irwan sayang.

Aku urungkan niatku meneleponnya, segera kuketik dan kukirim SMS balasanku :

Terimakasih sudah menerimaku dan memberiku kesempatan. Kini aku bisa tidur dengan bahagia. Selamat tidur juga Yanti sayang.

Lalu aku taruh HP-ku, dan segera memejamkan mata, anehnya kini aku bisa tertidur dengan bahagia, dan memang aku tidur dengan mimpi yang indah. Besok paginya aku bangun dan merasa jadi orang yang paling bahagia sedunia dan nyengir terus, sewaktu sarapan mama melihatku dan menanyakan ada apa...?? Aku hanya menjawab bohong, kubilang semalam aku nonton bola dan tim kesayanganku menang telak. Mama hanya menggelengkan kepala melihat kelakuanku. Aku belum mau membagi kebahagiaan ini dengan mama atau siapapun. Rencana berubah, aku tetap bolos kuliah namun aku ikut mama ke kantor, tak sabar rasanya bertemu Yanti. Kubilang ke mama hari ini aku malas kuliah, Cuma mata pelajaran yang membuat bosan, jadi aku mau ikut mama ke kantor saja, mama setuju saja, dan menyuruhku mandi. Mama lalu berbalik dan mau berjalan menuju kamarnya, tiba – tiba aku merasa bergairah, dari arah belakang aku mulai memeluk mama dan meremas – remas teteknya. Jadilah sebelum mandi, aku sempatkan menggarap mama., lagian semalam aku libur menidurinya. Mama juga senang, tiada yang menandingi nikmatnya seks di pagi hari sebelum memulai aktifitas harian kita.

Akhirnya setelah rapi, kami berangkat ke kantor, sesampainya di sana, aku menuju ke mejaku di ruangan mama, mendngarkan sebentar mama yang sedang berbicara dengan sekretarisnya, lalu aku permisi, segera menuju ke ruangan pujaan hatiku. Entah karena hatiku sedang senang sekali atu juga karena cintaku yang diterimanya, namun pagi itu aku melihat Yanti amat sangat cantik, melebihi biasanya, wajahnya lebih berkilauan. Aku memandangnya terpesona. Namun Yanti memang proffessional, selama jam kerja, walaupun aku mencoba mengajaknya bicara tentang hal semalam, namun dia tetap konsentrasi hanya untuk urusan kerjaan saja, akhirnya aku menyerah dan menunggu sampai jam istirahat tiba, kembali menekuni kerjaanku, walau tidak bisa konsentrasi penuh. Akhirnya jam istirahat tiba, aku ngomong pelan ke Yanti, mengajaknya makan di luar, dia mengangguk, kemudian kami berjalan ke depan, nunggu mikrolet, kami hendak makan di Mall yang tidak terlalu jauh letaknya dari kantor. Tidak ada yang aneh, karyawan lain yang melihat juga memandangnya wajar, namanya juga jam istirahat. Tidak sampai 5 menit kami sampai, aku tanya dia mau makan apa, katanya terserah aku, kuajak ke salah satu fast food, cukup ramai karena pas jam makan siang, namun kami berhasil dapat tempat duduk agak di pojok, aku segera mengorder makanan dan minuman, lalu kami duduk menunggu. Kami mulai berbicara, pelan – pelan saja.

”Yan, aku senang kamu mau mempertimbangkan untuk menerimaku...”
”Lama aku memikirkannya, Wan, kurenungkan kata – katamu, lagipula kamu sudah jujur dengan perasaanmu terhadap aku, aku sendiri juga harus jujur, memang suka sama kamu, jadi mungkin kita bisa menjalaninya.”
”Yan, seumur hidup baru kali aku pacaran, senang rasanya. Mungkin karena belum pernah pacaran, aku masih kikuk, harap maklum dan tolong ajari aku ya...”
”Nggak perlu serius kayak gitu dong, Wan. Jalani saja, mengalir apa adanya. Oh ya Wan, ada beberapa hal yang aku mau bilang ke kamu...”
”Apaan Yan...?”
”Bukan hal yang serius kok, aku mau kita menjalani hubungan ini secara terbuka, namun untuk saat ini aku rasa cukup kita dulu yang menikmatinya, di kantor kita biasa saja ya..., bukan apa – apa, aku masih canggung, takut dikira aku macari kamu, karena kamu anaknya boss, eits...jangan marah gitu, itu kan hal yang wajar terjadi, pasti akan ada anggapan begitu...”
”I..iiya..kamu benar Yan, aku setuju sama pendapatmu.”
”Lalu aku bukannya melarang, namun aku sendiri nggak terlalu nyaman kalau saat pacaran terlalu sering memakai istilah, honey, babe dan sejenisnya, apalagi di depan orang banyak, terlalu lebai. Bukannya nggak romantis, tapi kata sayang sesekali atau antara kita cukup kan. Kehangatan suatu hubungan kan nggak perlu diumbar dengan kata – kata seperti itu. Boleh sesekali tapi jangan berlebihan, gimana menurutmu...?”
”Menurutku, kamu memang cocok sama aku, Yan...hehehe, hal yang kamu ungkapakan sama dengan jalan pikiranku, kayaknya kamu memang sejiwa sama aku...”
”Bisa aja kamu...terakhir, kamu nggak harus mengantar aku pulang, kan kamu suka bareng sama mama kamu. Aku bukan tipe pacar yang menuntut haris dianter jemput. Oh ya hampir lupa, kalau sesekali kamu ada kegiatan lain di malam minggu, aku nggak masalah, ngapel kan bukan hanya malam minggu, lagian nggak wajib. Aku nggak terlalu maksain kamu.”
”Hehehe...seperti kataku tadi, Yan....kamu benar – benar sejiwa sama aku.”

Akhirnya pesanan kami datang, makan bersama dengan seseorang yang aku cintai, rasanya jauh lebih nikmat. Sambil makan, sesekali aku mencuri – curi pandang ke wajahnya. Akhirnya kami kelar makan, lalu memilih turun ke bawah dengan berjalan dan lewat tangga jalan, nggak pakai lift, sekalian menenangkan perut yang baru diisi. Setibanya di luar, kami segera mencari kendaraan yang menuju kantor. Jam istirahat di kantor kami memang nggak terlalu ketat, prinsip mama, boleh ngaret sedikit. Lagipula kan kadang saat jam pulang ada kalanya pegawai harus tetap menunggu sebentar untuk menyelesaikan kerjaannya atau nggak bisa on time istirahat pas jam istirahat dimulai, jadi sama – sama adil. Akhirnya kami tiba di kantor dan kembali tenggelam dalam kesibukan dunia usaha. Pulangnya, aku nggak antar Yanti, karena dia harus memeriksa beberapa laporan bersama beberapa karywan lainnya. Pelan, aku pamit padanya dan mengerdipkan mata, dia hanya tersenyum.

Sudah hampir 4 bulan kini aku menjalani hubunganku dengan Yanti, penuh romantika dan membuatku bahagia. SMS – SMS mesra, kata – kata rayuan, jalan saat malam minggu atau pulang kantor. Mama sedikit banyak mulai rada curiga karena setiap malam minggu, sore – sore aku sudah rapi dan wangi, secara berseloroh, mama bilang, kapan mau kenali pacarmu ke mama, Wan. Aku hanya senyum saja, belum mau mengungkapkan siapa kekasihku. Di kantor pun hubungan kami berjalan seperti biasa, nggak ada yang tahu atau curiga kami pacaran, memang Yanti bawaannya kalem dan juga nggak suka bergosip. Secara pasti kemajuanku di kantor mama mulai menunjukkan hasil, mama menerima laporan dari bawahan dan juga staffnya kalau aku memang berbakat untuk melanjutkan usaha mama. Mama senang mendengarnya.

Jangan dikira hubunganku dengan Yanti penuh dengan adegan – adegan panas, salah banget...jauh dari itu, bagiku Yanti special, aku tidak mau menyakiti hatinya. Hubungan kami berjalan bagai sejoli dalam roman percintaan, penuh tahapan, bergandengan tangan, cium pipi, lalu meningkat mulai berciuman, tapi nggak lebih dari itu. Satu hal yang membuatku terkejut dan kagum pada Yantiku, saat dia bilang agar selama pacaran kami menahan diri, dia memahami gaya pacaran zaman sekarang, dan nggak munafik untuk pura – pura mencelanya, dia bilang kalau hubungan kami sudah sampai tahap itu dia nggak ragu atau pura – pura menolak, atau melarang pasangannya pegang – pegang, dia tahu yang namanya keisengan orang pacaran, tapi dia sangat – sangat mengingatkanku, kalau sampai sebatas pasangannya yaitu aku keluar, dia mau, toh banyak cara untuk itu, namun dia nggak mau dan nggak akan mau untuk melakukan hubungan badan, baginya itu hal paling berharga, hanya untuk pasangan yang paling istimewa alias suaminya nanti...dengan kata lain Yanti masih perawan. Sungguh luar biasa gadis pilihanku, aku makin menyayangi dan menghormatinya. Aku juga bertekad untuk tidak merusak impiannya.

Hari ini Sabtu, Kak Erni datang ke Jakarta, kali ini ditemani Kak Indra, pacarnya, Kak Indra sendiri sudah sering datang berkunjung ke rumah, kebetulan keluarganya ada juga di Jakarta. Kami berempat, mama, aku , kak Erni dan kak Indra berkumpul di ruang tamu, larut dalam percakapan yang hangat dan penuh canda. Kak Erni membawakan undangan acara wisudanya. Rencananya mama dan aku akan hadir ke sana. Selagi masih larut dalam kegembiraan mendengar kak Erni akan diwisuda, mama dan aku kembali menerima kejutan besar, kejutan besar yang menyenangkan, kak Indra berbicara dengan sopan ke mama, sesekali disela kak Erni. Mereka mau menikah dan meminta restu mama, rencananya kalau mama setuju, keluarga kak Indra yang memang sudah mendesak agar kak Erni dan kak Indra segera menikah setelah kak Erni diwisuda nanti, akan menyusun waktu lamarannya. Mama menangis bahagia mendengar rencana ini, tentu saja sebelum memberikan persetujuan, menanyakan dahulu kesediaan dan kesiapan kak Erni, kak Erni menjawab mantap sudah siap. Mama memberikan restunya. Kak Erni meneteskan air mata bahagia, kak Indra juga, aku ikut terharu, lalu mama memeluk mereka, aku juga ikut memeluk bahagia. Kami lanjutkan pembicaraan, topik telah berganti, kini ramai membahas masalah rencana pernikahan. Mama bilang agar kak Erni menelepon opa dan oma, namun kakErni bilang nanti saja, lebih suka mengabarkan langsung, pasti opa dan oma senang karena cucu kesayangannya akan segera menikah. Di tengah pembicaraan, secara otomatis, aku yang dikira jomblo, menjadi bulan – bulanan ejekan mereka, kata mereka kapan aku mau nyusul. Sebenarnya aku nggak mau merusak moment bahagia kak Erni, tapi tidak ada salahnya membuat sedikit pengumuman juga, kagak enak dikira jomblo terus...

”Ngg...gimana ya, sebenarnya sih Irwan yang kece ini sudah hampir 5 bulan ini punya pacar...,” kataku membela diri.
”Hahaha....belagak doang tuh, biar kagak diledek..,” balas kak Erni.
”Kayaknya sih nggak deh Er, soalnya mama lihat, nih anak memang belakangan ini tiap malam minggu selalu rapi dan menghilang meninggalkan mama sendiri di rumah, terlalu rajin SMS, kebanyakan nyengir, mama juga penasaran sih, tapi si Irwan sok misterius gitu...,” bela mamaku.
”Tul begitu..., tuh kan, kak Erni sudah dengar apa kata mama, inga mama sendiri yang menyaksikan..jadi ledekan kaka sudah nggak berlaku lagi..” balasku senang.
”Ah...itu belum membuktikan apapun, orangnya siapa juga nggak ketahuan, kalau memang benar, buktiin atu paling nggak kasih tahu siapa, kali aja aku dan mama kenal.,” cuap kak Erni kagak mau kalah.
”Ehem...baiklah, baiklah, tenang para penonton sekalian, di sini Irwan akan membuka rahasianya...tenang. Sebenarnya nggak misterius kok, mama juga kenal...” kataku.
”Masa sih, Wan...siapa...? Penasaran juga mama, wanita mana yang bisa membuat anak mama yang cuek ini bertekuk lutut, siapa sih...,” mama makin penasaran.
”Alah..kelamaan, kasih tahu saja deh...,” kak Erni menimpali, kak Indra hanya nyengir.
”Baiklah..., ma, selama ini Irwan menjalin hubungan sama orang di kantor mama, Irwan harap mama nggak marah karena Irwan pacaran sama karyawan mama yaitu....Yanti.”
”Hah...Yanti ? Tunggu dulu..tunggu dulu...anak keuangan itu maksudmu...?”
”Benar ma, mama nggak keberatan kan Irwan pacaran sama pegawai mama...?”

Belum juga mama menjawab, kak Erni yang bawel sudah nyerocos, nggak bisa nahan diri dan penasaran untuk mengetahui lebih banyak mengenai pacar adiknya.

”Kayak gimana orangnya ma...? Cakep..? baik..? Penasaran banget, besok mau ke kantor mama ah sama Indra, mau lihat perempuan macam mana yang bisa ngelumerin hati si Irwan jelek ini...!!” serentetan kalimat, meluncur hanya dalam satu tarikan nafas dari mulut bawelnya. Mama menenangkannya.

”Tenang dulu..tenang dulu, mama mau ngomong nih....” kata mama, lalu menatapku.
”Benar, kamu serius sama Yanti, Wan...?”
”Iya..ma, Irwan belum pernah seserius ini...mama keberatan ? marah ?” tanyaku gugup.
”Ya ampun Irwan....lha nggak lah, itu kan pilihan kamu. Mama justru senang karena kamu pandai memilih wanita. Yanti itu anak yang baik, cerdas, cantik, mama malah mensupport kamu. Bagi mama kamu telah memilih pilihan yang baik, mama senang mendengarnya, tidak melarang kamu. Urusan dia pegawai mama..? Itu bukan alasan, mama bukan orang seperti itu, kalau itu pilihan anak mama, selama pilihannya baik, mama tidak akan melarang. Lanjutkan saja hubungan kalian, sungguh mama senang mendengarnya,” mama memelukku senang, kak Erni makin penasaran.
”Eit...eit...tunggu dulu, kalau dengar promosi mama, kayaknya, pacarnya si jelek ini, oke punya ya, ma, gimana orangnya ma...?” cerocosnya lagi.
”Yanti itu orangnya seperti yang mama katakan tadi, Er. Cantik, sopan, rajin, pintar, nggak banyak omongpokoknya setiap orangtua akan senang menjadikannya sebagai mantu. Prestasi kerjanya juga sangat bagus. Memang umurnya lebih tua sedikit dari Irwan, sepantaran kamu, Er, tapi mama rasa itu bukan masalah kok. Heran, mama saja nggak tahu kalau si Irwan bisa – bisanya pacaran sama Yanti. Kecolongan deh, mama, nih anak bisa saja milih barang bagus,” kata mama sambil becanda.
”Pokoknya kamu mesti kenalin dia ke kakak ya, Wan, awas kalau nggak, benjol kamu.” kata kak Erni lagi. Kak Erni memang jarang ke kantor mama, juga nggak terlalu familiar dengan pegawainya.

”Kayaknya masih sore nih, gimana kalau kamu telepon dia, Wan. Kita ajak dia makan di luar, sekalian memuaskan rasa ingin tahu kakakmu yang bawel ini.” usul mama.
”Ngg...gimana ya, mungkin dianya malu, ma” kataku ragu.
”Dicoba saja dulu...kamu kan paling pintar merayu,” canda mama.

Aku segera bangun dan berjalan menjauh, dan mulai meneleponnya dari HP-ku, seperti dugaanku, mula – mula Yanti tidak terlalu senang mendengar aku memproklamirkan hubungan kita. Namun aku menerangkan alasanku, juga menambahkan, aku mau menjalani hubungan yang terbuka yang direstui oleh mamaku. Yanti terdiam, merenungkan kata – kataku. Lalu aku lanjutkan, aku mau mengenalkannya pada kakakku, dan kami mau menjemputnya, mengajaknya makan di luar. Yanti akhirnya setuju.

”Gimana,Wan..??” tanya kak Erni antusias.
”Beres...,” jawabku sambil mengedipkan mata.
”Seperti kata mama, kamu memang pintar ngerayu...hehehe” ledek kak Erni.

Akhirnya aku dan mama segera mandi dan rapi – rapi, kak Erni dan kak Indra menunggu sambil menonton TV. Setelah semua siap, mama bilang dia mau mentraktir kami makan di restaurant X, sebuah retaurant yang cukup mahal dan berkelas, katanya untuk merayakan moment special dan bahagia hari ini, bolehlah sekali – kali dia traktir kami di tempat special. Kami sependapat dan setuju. Kali ini kak Indra yang menyetir, kak Erni duduk di depan menemani, aku dan mama di belakang, aku tunjukkan arah ke rumah Yanti, tidak terlalu lama kami sampai. Aku segera turun, dan tak lama aku dan Yanti keluar dari ruah, kulihat kak Erni memandang dari kaca mobil, menilai Yanti. Setelah masuk ke mobil, kak Indra mulai menjalankan kendaraan, dia sudah tahu arah tempat yang kami tuju.

”So...sore bu Susan...,” salam Yanti gugup ke mama.
“Sore Yan, aduhh, kamu jangan gugup begitu, juga nggak perlu terlalu formil, ini kan bukan di kantor, saya sudah tahu hubungan kamu sama Irwan, jadi kalau di luar kantor, panggil saja tante, nggak perlu sungkan,” mama mencoba mencairkan ketegangan Yanti.
“I…iiiyaa bu, eh tante...,” jawab Yanti.
”Ehem...ehem...,” kak Erni yang bawel mulai beraksi.
”Oh iya, Yan, kenalin ini kakakku Erni, yang menyetir itu kak Indra, calon suaminya.” aku menerangkan. Kak Erni membalikkan sedikit tubuhnya dari jok depan, menjabat tangan Yanti.
”Erni....kakaknya si jelek ini, namun kamu boleh panggil saya Erni, kagak usah pake kak..kak segala...,” kak Erni memulai perkenalan.
”Iya...kak Erni, saya Yanti.” Yanti masih agak grogi. Kak Indra hanya memalingkan wajah sekilas dan tersenyum ke arah Yanti, soalnya lagi nyetir. Perjalanan agak lama, agak macet, mungkin jalanan agak penuh dengan orang yang mau jalan keluar, maklum Sabtu sore. Suasana di mobil mulai rileks, Yanti yang walaupun sepantaran dengan kak Erni, tetap memilih memanggilnya kak Erni, menunjukkan kesopanannya. Yani juga sudah tidak canggung lagi bercakap dengan mama. Karena pasangan baru, maka aku hanya bisa pasrah, saat mama dan Kak Erni dengan sadis dan puas membongkar semua tingkahku saat masih kecil dan remaja. Pokoknya suasana cukup santai dan meriah. Akhirnya kami sampai di restaurant. Makan malamnya sangat enak, ditambah suasana hati kami yang sedang bahagia, makin klop. Mama bahkan melibatkan Yani membicarakan masalah perkawinan kak Erni, entahlah mungkin mama memang merasa klop dan senang dengan pilihanku. Singkat kata acara saat itu sukses dan bisa menjadi awal yang baik sebagai moment perkenalan yanti dan keluargaku. Di sini aku bilang perkenalan ke keluarga, karena hubungan mama dan Yanti di kantor tentu beda dengan hubungan di luar kantor. Akhirnya setelah puas dan kenyang, kami bersiap pulang, mama meminta bon dan membayar dengan kartu kreditya. Kami pun pulang, mengantar Yanti, sesampainya di rumah yanti, aku bilang ke mama, aku ikut turun dan nanti pulang sendiri, mama maklum, kak Erni meledek. Yanti lalu dengan sopan mengucapkan terimakasih dan pamit pada mama, kak Erni dan kak Indra. Mama dan kak Erni mencium pipi Yanti. Mobil akhirnya meninggalkan kami. Aku mengantar Yanti masuk ke dalam rumah. Yanti masuk ke dalam mengambil minuman.

”Terimakasih ya,Yan, hari ini aku senang sekali.” kataku
”Aku juga, Wan, walau awalnya aku agak marah karena kamu tanpa persetujuanku memproklamirkan hubungan kita, tapi sepertinya kamu benar, dan aku jujur saja senang dan menikmati acara tadi.”
”Mama dan kakakku kayaknya suka sama kamu,Yan. Aku tahu pasti dari cara mereka berbicara dan bersikap padamu.”
”Syukurlah kalau mereka bisa menerimaku, Wan.”

Kami melanjutkan pembicaraan sambil menonton TV, ketika sudah jam 9, aku pamit pulang, naik Taxi sajalah, Yanti mau memesankan, tapi aku bilang nggak usah, aku jalan saja ke depan, sekalian melemaskan kaki. Sebelum pulang aku kecup pipi Yanti. Lalu Yanti mengecupku dan mencium dengan lembut bibirku, lama.

”Terimakasih untuk hari yang indah ini, Wan.”
”Sama – sama, Yanti sayang.”
”Ya sudah, kamu pulang, hati – hati ya, titip salam sama mama dan kakakmu, nanti kalau sudah sampai, SMS aku, yah. I Love You.”

Aku lalu berjalan ke arah depan, menuju gerbang kompleks, kunyalakan rokokku, Yanti tidak melarang aku merokok, karena dia tahu aku merokok tidak terlalu sering, jarang. Sambil berjalan, aku tersenyum - senyum, hari ini sangat menyenangkan, mama mengethui dan merestui hubungan kami. Kak Erni dengan pengumuman bahagianya, Yanti juga senang...apalagi yang bisa kuharapkan...hidup itu indah.

Sesampainya di rumah, sepi, lalu kulihat mama dan kak Erni sedang asik ngobrol di dekat kolam renang, nggak jelas karena lampunya dimatikan sih, biasa gosip sambil ngadem, kak Indra sudah pulang, aku SMS Yanti memberitahu aku sudah di ruma, lalu aku ke dapur bikin 3 cangkir kopi susu, lalu membawanya ke sana, ikut gabung.

”Nah...nah...Don Juan sudah pulang,” ledek kak Erni
”Hahaha...ngeledek terus nih...jadi gimana penilaian kak Erni.”
”Perfect...100% Perfect. Ya Cantik, Ya cerdas, ya sopan, juga sayang sama kamu, pilihan kamu bagus Wan, kakak sependapat sama penilaian mama. Bisa saja kamu nyari yang kayak gitu..” terang kak Erni. Kalau itu kata kak Erni, aku percaya, sebab kak Erni memang ahli menila orang.
”Irwan gitu lho....,” kataku lagi.
”Wan, kamu harus jalani hubungan kamu dengan serius, mama suka sama Yanti, kamu jangan sembarangi dia ya, mama kayaknya mulai sayang sama dia,” kata mama.
”I..iiya ma,”jawabku singkat.

Lalu kami larut dalam obrolan, kali ini topiknya didominasi rencana menghadiri wisuda dan juga mematangkan rencana pernikahan kak Erni. Rencananya 2 atau 3 bulan setelah diwisuda, keluarga besar kak Indra akan datang ke Jakarta, melamar kak Erni sekaligus menentukan hari pernikahan. Kak Indra sendiri akan bekerja di Jakarta, di salah satu Perusahaan keluarganya, juga tinggal di Jakarta, namun tidak di rumah kami, dengan uang tabungan dan ditambahi sedikit sama papanya, dia sudah membeli rumah, tidak terlalu jauh dari rumah kami kata kak Erni. Mama bahagia mendengarnya. Tak lama mama, bangun, ngantuk katanya dan meninggalkan kami. Mama memang selalu begitu, kalau ada kak Erni, nggak terlalu mendominasi diriku, dia mengerti. Kini hanya aku dan kak Erni.

”Kak, selamat ya...Irwan senang akhirnya kakak Irwan yang bawel ini dapat jodoh juga...”
”Selamat tapi ngeledek gitu...”
”Nggak...serius deh....terus Irwan mau omongin hubungan kita...”
”Sebenarnya kakak juga mau ngomongin itu Wan, jadi kamu dengerin saja ya...”

Akhirnya aku diam dan bersiap mendengarkan, sejujurnya saat aku mendengar kak Erni akan menikah, aku senang dan dengan rela serta dengan kesadaranku mau mengakhiri hubungan kami, bahkan mau berbicara lebih dahulu, namun kak Erni memutuskan dia dulu yang bicara, sebuah keputusan yang akhirnya berbalik dengan rencanaku.

”Kalau untuk hubungan kita, kamu tenang saja, aku tetap merahasiakannya, hanya mama yang tahu, Indra tidak tahu...”
”Terus kak, kakak setuju kan untuk mengakhirinya....??” tanyaku
”Untuk itu, kakak akan jawab...belum...”
”A...apa kak, belum, apa maksudnya...???”
”Dengan Indra, kakak memang sayang dan cinta banget sama dia, tapi dengan kamu juga ada ikatan khusus yang sulit untuk dilepaskan, jujur saja untuk saat ini dan ke depannya, kakak belum siap mengakhiri, biarlah itu tetap berjalan, nanti mungkin kalau waktunya tiba akan berakhir dengan indah dan dengan sendirinya.”
”Tapi kak...nggak bisa begitu dong, Irwan nggak enak sama kak Indra, apalagi kalau dia tahu...”
”Dia tidak akan tahu. Ini sudah keputusan kakak. Kamu turuti saja kalau kamu sayang sama kakak. Kakak mau jawabanmu sekarang.”
”Ba...baiklah...jika itu mau kakak...,” kataku tidak terlalu yakin.
”Bagus, kakak senang mendengarnya. Tentu saja kita harus hati – hati...itu harus. Juga ada beberapa perubahan...mungkin akan mengurangi kenyamananmu. Begini Wan, sampaiaku enikah, kamu bebas keluar dalam memiawku, tapi setelah aku menikah, setiap berhubungan, kamu terpaksa ngeluarin di luar, sebab aku nggak akan minum pil KB lagi, aku juga mau hamil anaknya Indra, kamu nggak keberatan kan...??”
”Nggak...nggak masalah kak.”
”Bagus, terus terang, kakak lama memikirkan hal ini, di satu sisi kakak sayang dan cinta sama Indra yang akan jadi suami kakak, sudah lama kami menjalin hubungan, namun di sisi lain, memang kelihatannya kakak berkhianat, tapi hubungan kakak dan kamu juga memiliki ikatan khusus, kakak belum siap melepasnya...”
”Ya, sudah kalau menurut kakak itu yang terbaik...”
”Di samping itu...Wan...”
”Di samping itu, apa kak...?”
”Kakak sudah terlanjur doyan sama tongkol kamu sih, nggak gampang melupakan enaknya disodok tongkol kamu tahu,....main yuk, kakak sudah kangen nih, di sini saja.”

Aku langsung berdiri, sementara kakak tetap berbaring di kursi berjemur, lampu yang dimatikan membuat suasana remang, mama juga sudah di kamarnya, mau tidur. Aku turunkan celanaku, tongkolku masih tertidur, tangan kak Erni dengan terampil mulai mengelus dan memijat tongkolku, membangunkannya dari tidurnya, lama kak Erni memainkan, meremas dan mengocok tongkolku. Akhirnya ia mengangkat sedikit kepalanya, masih tetap berbaring, aku juga masih berdiri, lidahnya mulai menjilati seluruh permukaan tongkol dan bijiku, sesekali tangannya yang hals memijat – mijat bijiku. Dengan rakusnya dikulumnya tongkolku, gerakannya tidak terlalu cepat atau lambat, namun sangat nikmat, setiap kali tongkolku bergesekan dengan bibirnya. Sesekali kak Erni lama mengemut kepala tongkolku. Emutannya terasa kuat dan memijat – mijat tongkolku, tanpa sadar aku mendesah keenakan.

Lama – lama aku tidak sabar ingin beraksi juga, perlahan sambil tetap membiarkan tongkolku diservice oleh mulutnya, aku duduk di pinggiran bangku tempat kak Erni berbaring, tanganku perlahan menaikkan dasternya, terlihat CD-nya, kupelorokan CD tersebut dan tanganku kini mulai mengelus dan memainkan bulu kemaluannya yang lebat, kubelai dan kuremas pelan, lalu jariku mulai menggosok belahan memiawnya, pelan dan penuh tekanan, lama – lama belahan memiaw kak Erni mulai mekar dan terdengar suara cairan, mulai basah karena rangsangan jariku, jariku merasakan itilnya yang besar dan menonjol keluar, kugosok dan kumainkan dengan jariku, satu tanganku yang lain mulai meremas dan memainkan teteknya. Kak Erni nampaknya mulai merasakan enak, hisapannya pada tongkolku terasa makin cepat. Sebenarnya aku ingin mulai menjilati memiawnya, namun posisiku saat ini tidak begitu nyaman dan agak sulit untu melakukannya, jadi kupuaskan jariku menggerayangi itilnya. Sesekali itilnya kujepit lembut dengan kedua jari, kugoyangkan, membuat kak Erni kelojotan dan sedikit mengangkat pantatnya. Cukup lama tongkolku dilumat oleh mulutnya, akhirnya aku merasakan sudah cukup, dan kutahan gerakan kepalanya, kak Erni mengerti dan aku segera melepaskan pakaianku, kulepaskan pula daster kak Erni, kak Erni masih berbaring di bangku, kutarik ia agak ke bawah, aku berjongkok di depan selangkangannya, kakinya mulai ia lebarkan, tercium aroma yang enak yang sudah aku kenal dari memiawnya, tanpa basa – basi lidahku segera menjelajahi dan menjilati memiawnya, lidhku menari dengan cepat menggoyang itilnya, sementara jari tengahku dengan lancarnya menyodok lobang memiawnya yang sudah basah, kak Erni kelojotan menahan nikmatnya serangan lidah dan jariku. Mulutnya mendesah perlahan. Aku makin terangsang mendengarnya dan meningkatkan kecepatan lidah dan jariku. Desahan dan sesekali badannya menggeliat, namun pertahanannya masih kuat, belum mau keluar. Cukup lama aku memainkan memiawnya, akhirnya diiringi desahannya dan sedikit mengejang, tersemburlah cairan hangat dari lobang memiawnya. Aku segera menghentikan aksiku. Kak Erni bangun dan kulihat mengambil sesuatu dari meja, tidak begitu jelas karena agak remang – remang, oh rupanya baby oil.

”Wan, sodok aku dari pantat ya, sudah lama nih, tadi aku sudah bersih – bersih, biar lancar dan enak...”
”Pasti, tapi aku mau nyodok memiaw, kak Erni dulu.”

Kak Erni menyerahkan baby oil padaku, lalu naik kembali ke bangku berjemur, siap dengan posisi nungging, aku segera menjilati lubang pantatnya, sudah kak Erni bersihkan tadi rupanya, kutuangkan baby oil, jariku pelan –pelan mulai menerobos, melebarkan lobang tersebut. Setelah agak lama memainkan lobang pantatnya, aku sengaja menuangkan baby oil agak banyak, buat nanti, sekarang aku berdiri dan tongkolku sudah siap menerobos lobang memiawnya, Blesss.....dengan sekali coba, terbenamlah tongkolku, kumulai pompaanku, sedang – sedang saja, lancar dan enak. Tanganku memegang kedua sisi pantatnya. Kusodokkan tongkolku sedalam mungkin, kurasakan kepala tongkolku bergesekkan dengan itilnya setiap kali dalam posisi keluar, sesekali tanganku meremas teteknya dan memilin itilnya.Makin lama aku percepat pompaanku, desahan kak Erni makin kerap terdengar, jariku kini mulai ikut menyodok denag cepat lobang pantatnya, memiawarkan lobang tersebut. Disodok kedua lobangnya, membuat kak Erni kewlahan dan keenakan, bibirnya terus mendesah dan sesekali pinggulnya bergoyang mengimbangi, tak perlu waktu lama akhirnya jebol juga pertahanannya, ia kembali orgasme. Aku segera mencabut tongkolku.

Kutarik perlahan tubuhnya, kini aku yang duduk, kak Erni kuposisikan dalam pangkuanku berhadapan denganku, kedua kakinya melebar sekaligus ia jaikan tumpuan, ia mengangkat pinggulnya sedikit, tangannya agak melebarkan lobang pantatnya, aku pegang tongkolku, akhirnya ia menurunkan pinggulnya, dan setelah 2 kali mencoba masuklah tongkolku ke lobang pantatnya, agak sempit dan menjepit, kak Erni kini yang memegang kendali, ia mulai menaik turunkan pinggulnya, sementara aku mulai menciumi bibirnya, kami saling berciuman dengan lembut dan panas, kemudian aku mulai menjilati dan mencium bulu keteknya, akhirnya mulutku dengan nyaman menghisapi putingnya, sementara kak Erni dengan konstant mempertahankan gerakan naik – turun pinggulnya. Kini gerakan tongkolku makin lancar dalam lobang pantatnya, karena sudah cukup lama dan lobangnya sudah mekar sempurna. Tangan kak Erni yang tadinya memelukku, ia lepaskan dan kini mulai memainkan itilnya sendiri. Aku masih tetap asik mengemuti dan menghisapi putingnya, kini aku hanya menikmati, karena kak Ernilah yang pegang kendali. Sesekali kudengar desahannya. Permainan kali ini memang santai dan aku benar – benar menikmati, entah berapa lama lobang pantat itu sudah diaduk – aduk sama tongkolku, ketika kurasakan aku mendekati klimaksku, sementara kak Erni juga memperlihatkan gejala yang sama, mata kami bertatapan, saling mengerti, kucium bibirnya dengan ganas, dan dengan goyangannya yang terakhir, kami sama – sama menggapai puncak. Lemas terdiam menikmati sensasi kenikmatan ini bersama.

Setelah lama terdiam, tanpa bersuara kami mengambil pakaian kami, dan berjalan menuju ke dalam rumah, kak Erni menarikku ke arah kamarnya, belum puas rupanya dia, masih kepingin memiawnya digarap. Akhirnya malam itu kugarap memiawnya 2 ronde lagi, baru dia puas dan terlelap, kulihat ia tertidur dengan senyum puas, masih tanpa busana, kututupi tubuhnya dengan selimut, mungkin ia capek, hari ini kan ia juga baru datang dari Bandung. Kulirik jam, masih jam 3 kurang, aku keluar dari kamar, ke kamar mandi mencuci tongkolku, lalu hanya mengenakan celana pendek, aku ke dapur, mengambil gelas dan minum susu botol dari kulkas sambil merokok. Ya, kalau memang akhirnya kak Erni sendiri yang tetap mau melanjutkan tidak masalah, toh tidak ada ruginya bagiku, kami hanya perlu berhati – hati saja, dan aku hanya perlu berkorban sedikit yaitu saat keluar, aku keluarnya di luar memiawnya. Tidak terlalu masalah. Akhirnya rokokku habis, aku rapikan asbak dan gelas, lalu mematikan lampu dan melangkah menuju tangga, ke kamar mamaku, kasihan mama, belum mendapat jatah, lagian aku masih kuat dan masih mau.

Waktu memang berjalan seperti terbang saja, tak terasa 3 bulan berlalu sejak kak Erni dan kak Indra datang tersebut, dan kini aku dan mama duduk bersama opa dan oma menghadiri wisuda kak Erni. Kak Indra bersama Orang tuanya juga hadir. Sebenarnya Yanti juga diajak ikut, namun berhalangan hadir, karena harus pulang ke Semarang. Mama nampak terharu saat melihat kak Erni dengan baju toganya. Kak Erni nampak cantik dan berbahaga saat itu. Setelah upacara dan berbagai sambutan serta penyerahan ijazah selesai, kami foto – foto dan kemudian kami menuju rumah opa dan oma. Rencananya makan – makan syukuran, juga mungkin orang tua kak Indra akan sedikit membicarakan masalah lamaran, soft opening gitu....membahas dan mematangkan rencana. Aku mendengarkan sambil sesekali berbalas SMS dengan Yanti.

Oh ya, akhirnya hubunganku dengan Yanti memang sudah diketahui oleh orang – orang di kantor. Sebenarnya sih bukan karena kami, ini karena mama, mama tanpa sengaja ”kelepasan” bicara sama sekretarisnya. ”Kelepasan”, yang aku sendiri curiga, karena aku tahu tidak biasanya mama seperti itu. Mungkin mama sangat senang dan sreg dengan hubunganku dan Yanti, sehingga mau orang tahu, juga menghentikan usaha pegawai wanita lain yang mau memacariku. Bukannya GeEr, seperti kata Yanti dulu, memang akhirnya sedikit banyak ada suara sumbang menanyakan motivasi Yanti memacariku, banyak suara negatif, aku yang mendengarnya sampai kesal, tapi Yantinya sabar, dan juga memang beberapa karyawati yang dulu suka genit padaku kini mulai mebarkan pandangan setajam silet setiap melihat Yanti, makanya mungkin mama sengaja ”Kelepasan” bicara, biar semua tahu, paling heboh di awalnya, lama – lama juga adem. Kalau ada banyak yang negatif, banyak juga yang setuju, menurut mereka karakter Yanti sesuai dan seirama dengan aku. Pak Budi sebagai atasan Yanti paling antusias. Namun kami tetap proffessional, uruan kerja ya jalan terus. Memang kini kuliahku sudah mendekati tingkat akhir, mungkin setahun lebih lagi kelar, nilai IP ku sangat bagus, mungkin termotivasi oleh perhatian Yanti. Dosen pembimbingku sampai bilang aku harus mengambil S2 kalau memang ada biaya dan waktu. Belum aku pikirkan.

Yanti sudah memberitahu orangtuanya perihal hubungannya denganku, Pak Suryo, ayahnya yang kenal mama karena dulu mama sering bertemu bisnis dengannya saat masih menjabat kepala cabang bank, senang sekali. Dia bilang ke Yanti, Bu Susan, mamaku adalah orang yang baik, sopan dan ramah, serta mempunyai kemampuan bisnis yang baik, walau belum pernah ketemu sama aku, namun ia yakin aku mempunyai karakter seperti mamaku. Kata Yanti ayahnya sangat senang. Hubunganku sendiri dengan Yanti makin dekat dan kami makin mengenal karakter masing – masing. Untuk level hubungan, sudah ada peningkatan, bila dulu Yanti masih suka menepis halus, namun kini mulai membiarkan aku sesekali membelai atau meremas teteknya saat aku menciumnya. Teteknya besar juga ukurannya, walau meremas dari balik bajunya, namun aku merasakan ukurannya yang besar. Tapi memang baru sebatas aku dulu, yanti sendiri belum berinisiatif menjamah bagian tubuhku. Biarlah, bagiku Yanti special, apapun akan aku tunggu, sampai waktunya tiba.

Kak Erni akhirnya pulang ke Jakarta, sudah ditetapkan 2 bulan sesudah wisudanya, hari, tanggal baik sudah didapat untuk acara lamaran dan penetapan pernikahan. Selama masa menunggu kak Erni memilih di Jakarta, menambah tugas malamku di rumah hehehe. Sesekali kalau bosan, kak Erni ikut main ke kantor. Kini aku tidak mendominasi Yanti sendirian, kadang mama dan kak Erni mengajak pergi bareng, belanja, salon, urusan perempuan deh....Yanti juga sering main ke rumah, nampaknya hubungannya dengan mama dan kak Erni makin akrab dan cocok, mama juga makin sayang sama Yanti. Mama bahkan memaksa Yanti untuk ikut ke tukang jahit guna menjahit seragam yang dipakai oleh pihak keluarga untuk acara lamaran tadi. Sebuah tanda dan pengakuan lanjutan betapa mama menerima Yanti. Tante Ani juga sudah aku kenalkan kepada Yanti, kesannya juga sama, nampaknya semua menyukai dan menerima Yanti.

Sudah 2 hari ini rumah kami ramai, seluruh keluarga besar berkumpul, besok acara lamaran kak Erni. Opa dan oma menginap di rumahku juga keluarga yang lain, sedang keluarga yang tidak tertampung menginap di rumah tante Rika. Yanti ikut menginap di rumah. Memang karena ramai otomatis aku ’libur’, tapi tak apa, demi kebahagiaan kak Erni. Opa dan Oma sangat senang dengan Yanti, Yanti memang pandai membawa diri. Baru kenal sebentar, opa dan omaku langsung jatuh hati padanya. Demikian juga dengan tante dan Omku yang lain, kini sudah kenal dan suka sama Yanti. Pendeknya untuk berbaur, Yanti sangat – sangat sukses. Suasana sangat ramai dan sibuk, mama menyewa perlengkapan pesta, tenda, catering, namun tetap memasak dibantu keluarganya untuk makanan pasukan yang menginap ini. Sehari sebelum acara kak Erni rada tegang, opa yang sayang sekali padanya memberi wejangan di depan seluruh keluarga. Di akhir wejangan opa bercanda dan berharap agar aku dan Yanti segera meyusul kak Erni secepatnya, mumpung opa masih hidup, semua ketawa dan wajah Yanti merona merah.

Akhirnya acaranya sendiri berlangsung dengan khidmat dan sukses, keluarga besar kak Indra datang membawa berbagai macam bingkisan yang biasanya menyertai acara lamaran, kak Indra nampak tegang tapi juga keren dengan pakaian adatnya. Oh ya, Om Dedi dan Tante Rika juga datang, sebagai perwakilan keluarga Papa ( Tentu saja Tante Vera tidak diundang, Blacklistnya mama ). Serangakaian mata acara dilewati, opa mewakili pihak keluarga menerima lamaran. Setelah berembuk, berbincang, menimbang dan menimbang lagi dengan seksama, akhirnya diputuskan untuk menggelar acara pernikahannya sebulan lagi, hari dan tanggal sekian. Karena kak Erni dan kak Indra banyak beredar di Bandung, maka semua sepakat acara resepsi akan dilakukan sekali saja di Bandung. Adatnya adat Sunda. Nampaknya memang keluarga besar kak Indra memang mempersiapkan diri dengan baik dan matang, kulihat beberapa kerabatnya menelepon, dan tak lama dipastikan gedung untuk acara resepsi siap dan tersedia untuk dipakai pada saat tersebut, nampaknya sudah dibooking dengan ancer – ancer tanggal tersebut pikirku. Setelah melewati rangkaian acara dan juga serangkaian wejangan dengan bahasa Sunda, dan juga membahsa detail lainnya, akhirnya acara selesai dan dilanjutkan dengan acara makan – makan dan ramah tamah, aku dan Yanti memberi selamat dan memeluk kak Erni dan kak Indra. Keluarga yang lain juga. Mama kulihat matanya masih sembab, bahagia karena putrinya kan segera menikah. Akhirnya acara selesai dengan lancar dan sukses.

Keluarga besar kami mulai kembali ke rumahnya esok harinya, opa dan oma memutuskan menginap 2 minggu lagi, menghabiskan waktu menemani cucu kesayangannya, rencananya nanti akan balik ke Bandung bersama kak Erni, mama, aku dan Yanti akan menyusul seminggu sbelum hari-H. Untuk meminimalkan suara negatif, tentunya Yanti mengambil cuti yang jadi haknya. Selama opa dan oma menginap, aku banyak ”libur”, kalaupun mau, aku menggarap mama di ruangannya di kantor. Sedang kak Erni karena kepingin akhirnya main di hotel bersamaku. Kami berhati – hati menjaga rahasia ini. Oh ya untuk acara pernikahan kak Erni, mama begitu mendapatkan kepastian tanggal dan harinya segera menyuruh sekretarisnya untuk membooking 20 kamar hotel dekat gedung acara buat 3 hari, Jumat sore sampai Senin Siang, untung bisa dapat di satu hotel, discount lumayan, karena pesan banyak dan 3 hari, bukan apa sebab cukup banyak keluarga besar yang akan datang, bahkan yang tak sempat datang saat acara lamaran. Yanti bahkan mengabarkan bahwa orangtuanya akan datang, mama senang, sedang aku rada tegang, maklum pertamakali mau ketemu calon mertua nih. Mama segera memesankan satu kamar yang kelasnya lebih baik buat mereka. Untuk urusan resepsi memang dikoordinir keluarga kak Indra, mereka yang menentukan semuanya, termasuk membeli bahan seragam keluarga. Kami tidak terlalu sibuk sebenarnya. Seminggu sebelum hari H, aku, mama dan Yanti sudah di Bandung, karena belum terlalu sibuk, maka aku dan Yanti dan kak Erni ( maksa ikut ), menghabiskan awal – awal kedatangan kami jalan – jalan keliling Bandung dan sekitarnya. Baru 3 hari menjelang hari H, keluarga besar berdatangan, seperti reuni saja, untung mama memesan kamar buat mereka. Orang tua Yanti datang malam harinya, naik kereta api, aku dan Yanti menjemputmereka, aku memberi salam hormat, keduanya menerima slamku dan mengamatiku, sepertinya menilai aku, tampak wajah keduanya puas. Kami segera menuju hotel, mama menyambut mereka, namun tidak bisa berbicara terlalu lama, karena sibuk dan banyaknya anggota keluarga yang harus diurus, mereka maklum. Mereka kemudian istirahat, rencananya nanti kami semua akan ke rumah opa dan oma, ada acara adat, aku tidak begitu paham. Setelah acara selesai, aku pamit pada mama, mengajak Yanti dan kedua orang tuanya makan di luar sambil keliling Bandung. Mereka nampak senang dan nyambung berbicara denganku. Akhirnya kami tiba di restorant yang kupilih, tidak terlalu ramai.

”Wan, Om senang kamu serius menjalani hubunganmu dengan Yanti...”
”Iya, Om...”
”Om sudah Yanti beritahu, kamu lebih muda darinya, bagi Om itu tidak masalah. Yang penting kalian menjalani hubungan ini dengan bertanggung jawab, apalagi Yanti sendirian di Jakarta, jangan bikin malu Om.”
”Ba..baik Om, Irwan selalu berusaha.....” jawabku. Ibu Yanti ikut bicara.
”Senang juga melihat acara kakakmu, kami jadi bisa tahu seperti apa resepsi cara Sunda itu, mudah – mudahan kalian bisa segera menyusul, tante sudah ingin menimang cucu.”
”Idiihh mama...apaan sih, Yanti jadi malu nih.”

Kami pun tertawa bersama, dan melewati malam itu dengan santai dan akrab, sedikit banyak akhirnya keteganganku cair dan aku tidak canggung lagi. Kami pulang tak lama kemudian, karena besok akan sibuk. Sesampainya di sana, Yanti tidur bersama di kamar orangtuanya, mungkin sekalian ngobrol melepas kangen, aku...? Tidur bareng sepupu dan saudara lainnya yang sebaya, bukannya tidur malah ngobrol dan banyak becanda, untung sekeliling kamar kami, keluarga lain jadi tidak menimbulkan komplain, memang suah diperhitungkan pihak hotel. Baru jam 3an akhirnya kami tertidur.

Esoknya, pagi – pagi benar, rasanya belum puas tidur, kami sudah dipaksa bangun, salah sendiri sih kenapa kami tidurnya sudah mau pagi, rapi – rapi, berdandan dan sarapan. Sebelum Jam 9 harus sudah rapi, aku masih ada tugas tambahan menjemput opa dan omaku. Jam 10 acara akad nikah kak Erni, kebetulan dekat mesjid di samping gedung resepsi. Resepsinya jam 1 siang sampai kelar. Mama akan di pelaminan bersama opa. Semua beres, kini acara ijab kabul, khidmat penuh keharuan, mama menangis saat kak Erni dan kak Indra meminta restu dan mencium tangannya, aku juga senang dan haru. Akhirnya kakakku yang aku sayang dan cintai ini menikah dan menemukan pelabuhan hatinya, aku peluk dan kecup pipinya, bahagia. Kak Erni juga memelukku. Sesudah acara haru biri kelar, kami beristirahat dan bersiap ganti kostum untuk resepsi. Resepsinya meriah dan besar, keluarga kak Indra termasuk terpandang di Bandung, juga kerabat opa dan oma banyak yang hadir. Akhirnya sekitar jam 4 acara selesai, kami keluarga masih berkumpul, melepas lelah. Jam 7 kami sudah di hotel, kak Erni akan merbulan madu dahulu ke Eropa, dapat hadiah dari relasi papanya Kak Indra. Nanti jam 9 aku akan mengantar Yanti dan kedua orangtuanya ke stasiun, Yanti akan ke Jakarta duluan ditemani keduanya. Akhirnya mereka siap berangkat, mencari mama, pamit, mama minta maaf kalau selama kedatangan mereka kurang bisa menemani, karena sibuk. Kuantar mereka, Om Suryo bilang agar mampir ke rumah kalau aku sudah di Jakarta, beliau akan di Jakarta 2 mingguan, aku iyakan. Setelah menunggu, kereta tiba, mereka segera naik. Aku kembali ke hotel. Esoknya anggota keluarga besar kami mulai pamit dan pulang, mama dan aku juga menginap sehari lagi di rumah opa dan oma, tidak kepikiran buat begituan, masih capek, jadi istirahat dulu. Baru esoknya pagi – pagi kami ke Jakarta, belum siang sudah sampai di Jakarta, mama tidak ngantor, Cuma istirahat sebentar, aku yang sudah pulih segera memuaskan rasa hausku, segera melumat dan menggarap mama habis – habisan, mama juga tidak menolak, sudah pulih staminanya dan juga sudah gatel minta disodok memiawnya, akhirnya sepanjang hari itu kami habiskan memacu birahi kami. Benar – benar menyalurkan hasrat. Tak terhitung berapa kali aku keluar dalam lobang memiawnya. Malamnya, kami lemes tapi segar secara batin, siap memulai kembali rutinitas esok hari. Untuk penutupan sebelum tidur, tongkolku bangun lagi melihat kaki mama yang mengangkang memperlihatkan memiawnya, kami bermain dulu seronde saja, baru kami tidur dengan pulas dan nikmat. Besoknya mama kerja, sedang aku ke kampus dahulu.

Ternyata orangtua Yanti itu tipenya tipe yang gaul dan enak diajak komunikasi, kini aku sama sekali tak canggung dan merasa akrab tiap kali bertemu mereka saat aku berkunjung ke rumah Yanti. Pak Suryo sanga senang padaku, mungkin karena tidak punya anak lelaki, adik Yanti juga perempuan. Dalam satu kesempatan dia berkata, hidup ini memang aneh dan tak bisa ditebak, dulu ia kenal mama, karena Perusahaan mama sering berhubungan dengan cabang bank yang ia kepalai, ia meminta kesediaan mama menerima anaknya, Yanti yang perlu magang untuk skripsi, akhirnya malah Yanti ditarik kerja di Perusahaan mama, dan kini tanpa bisa diduga malah menjalin hubungan denganku. Katanya lagi, saat pensiun ia memutuskan meneruskan dan mengembangkan usaha keluarganya dulu di Semarang, pabrik penganan kecil – kecilan, ia benahi managementnya dan menambah modal untuk mesin dan tempat, kini usaha tersebut telah berkembang, tadinya ia berniat menarik Yanti ke Semarang untuk mengelola bersama, namun nampaknya Yanti kerasan hidup dan bekerja di Jakarta. Sambil tersenyum ia bilang, kini mungkin lebih kerasan lagi, aku hanya nyengir saja. Setelah 2 minggu di Jakarta akhirnya mereka pulang ke Semarang.

Sudah hampir setahun hubunganku dengan Yanti, aku mulai amat meyakini, She’s The One, ya...rasanya memang dialah belahan jiwaku, banyak kesamaan dan kecocokan antara kami, perbedaan yang ada pun tetap serasi, menghabiskan waktu dan berbicara dengannya selalu menyenangkan, wawasannya luas, pandangannya juga dinamis. Pengertiannya pada aku amat kusuka, dia selalu membebaskan aku, tidak pernah menuntut waktuku secara berlebihan. Menurutnya, bolehlah aku sesekali menikmati malam minggu tanpanya, bersosialisasi dengan teman – temanku, dan memang sesekali aku suka ngumpul sama teman kuliah, kadang Yanti kuajak. Satu moment kenangan yang kuingat yaitu tak lama setelah orangtua yanti pulang, aku sedang ngapel di rumahnya.

”Wan, orangtuaku sangat suka dan senang sama kamu. Ayahku bahkan selalu menanyakanmu kalau sedang menelepon.”
”Oh ya...? Wah bagus deh Yan, jadi mulus jalan hubungan kita...”
”Kata mereka, kamu orangnya sopan, baik dan juga menyenangkan kala berbicara. Heh, jangan GeEr gitu dong...”
”Enggak...enggak GeEr kok Yan, cuma nyengir aja hehehe...”
”Mereka senang karena kini aku di Jakarta ada yang menemani. Tapi mereka tetap berharap aku bisa menjaga diri.”
”Iya...aku akan jagain kamu, walau kadang berat...”
”Berat kenapa Wan...? Kok kamu ngomong gitu...”
”Deh...jangan ngambek gitu dong Yan, maksudku berat menahan diri, habis kamunya terlalu seksi sih hahaha...”
”Huh...dasar mata keranjang...”

Yanti lalu mencubitku, pandangan kami bertemu, aku kemudian mengecup bibirnya, lembut dan hangat, lama kami berciuman, tanganku jadi kumat, mulai meremas teteknya, namun kali ini Yanti malah mendekap tanganku, membiarkan. Kemudian...astaga...tangan Yanti mengelus celanaku, meremas pusaka di balik celanaku, baru kali ini Yanti melakukannya. Kami tetap berciuman. Ketika akhirnya tangan Yanti mulai menarik resleting celanaku, aku menghentikan ciumanku.

”Kok...ka..kamu ngapain Yan...?”
”Ini hadiah dariku, karena kamu sudah baik dan sayang sama aku selama ini, tenang saja, aku tetap dangan komitmenku, aku hanya mau kasih kamu hadiah kecil, karena kamu sudah sabar dan bisa menahan diri.”

Untuk memudahkan, Yanti kemudian membuka celanaku, menurunkan sedikit, masih menyisakan CD-ku, tangannya mulai membelai CD-ku, lembut dan penuh erotisme, tongkolku langsung bereaksi, lama Yanti memainkan dan membelai CD-ku, akhirny tangannya menyusup ke balik CD- ku, kini kulit halus tangannya langsung bersentuhan dengan tongkolku, halusnya. Kulihat wajahnya agak mengernyit, lalu dengan lembut dia menarik CD-ku sebatas paha, terbebaslah tongkolku dan mengacung dengan perkasa, kulihat Yanti sedikit terbelalak melihatnya, namun dapat menguasai diri, tangannya kini mulai mengelus dan membelai kepala tongkol dan bijiku.

”Kamu nikmati aja ya Wan, tapi ingat jangan minta lebih...”
”I..iiiya,Yan..”
”Kalau Cuma ini aku juga bisa, kupikir kalau hanya sebatas ini masih okelah...”

Lalu tangannya mulai mengocok batang tongkolku, matanya menatap mataku, gila erotis banget sih, jujur, kadang hal kayak gini menimbulkan sensasi yang lain dan berbeda. Lama ia mengocok dan memainkan bijiku, tongkolku sudah agak memerah, lalu...astaga...kejutan lagi, ia mendekatkan mulutnya, lidahnya mulai menjilat kepala tongkolku, sebenarnya aku rada berpikir, mungkin Yanti pernah melakukan hal ini dengan pacarnya dulu, tapi...hei, adil sedikitlah Wan, dulu dia belum dan sama sekali tidak kenal kamu, apa yang dulu ia lakukan tidak ada kaitannya dengan sekarang. Lidahnya mulai menjelajahi seluruh permukaan tongkolku dan juga bijiku, perlahan namun penuh kenikmatan. Sesekali tangannya mengocok tongkolku, lalu akhirnya mulutnya mulai mengulum dan menghisap tongkolku, perlahan juga namun pasti. Tanganku ,ulai mencari kegiatan, kupikir kali ini pasti Yanti tidak akan melarang, tanganku menyusup ke balik kaosnya, terasa BHnya yang membalut teteknya yang cukup besar, Ynti tidak melarang, tanganku mulai meremas teteknya, sangat kenyal dan kencang, aku tidak menarik kaosnya, hanya tanganku yang beraksi di baliknya, walau tidak melihat, toh yang penting rasanya sama enak. Kini tanganku dengan nakalnya menerobos ke balik BH-nya, terasa putingnya yang agak besar dan mancung, kupilin – pilin, pelan tapi pasti putingnya mlai membesar dan terasa keras di jariku, sementara yanti tetap dengan konstant menghisap, mengulum dan mengemut tongkolku, memang belum seenak yang biasa kudapat dari mama, kak Erni. Tante Ani atau tante Vera, tapi bagiku tidak maalah, ini hanya masalah jam terbang, lama – lama juga terbiasa. Entah sudah berapa lama, aku tak tahu, yang penting hanya merem – melek menikmati, ketika akhirnya kurasakan denyut enak di tongkolku, aku segera agak mengangkat pantatku, Yanti tampaknya tahu aku mau klimaks, ia sudahi mengulum tongkolku, lalu satu tangannya mengocok tongkolku, satu tangannya lagi dengan cepat mengambil tissue dari kotak tissue di meja, akhirnya spermaku keluar di tissue yang sudah ia siapkan. Lemes banget tapi enak, tongkolku agak memerah.

”Yan...tadi enak banget, kenapa...tumben...?”
”Wan, jujur saja dulu aku melakukan ini pada mantan pacarku, tapi tentunya setelah menjlani masa pacaran yang cukup lama, aku hanya bisa melakukan ini,tak bisa memberi lebih. Kalau hanya segini, aku pikir masih wajar dan bisa kutolerir. Kupikir hubungan kita sudah cukup lama dan kamu berhak mendapat sedikit lebih dariku...kamu suka kan...?”
”Su..suka banget yang, sering – sering saja hehehe...”
”Maunya....sudah pakai lagi celananya....”

Demikianlah, tahap demi tahap kulalui, tidak langsung main tubruk saja, tapi anehnya aku sangat menyukai dan menikmatinya, bagiku ini adalah bagian dari tahap hubunganku dengan Yanti. Justru menunggu sensasi demi sensasi berikutnya terasa menyenangkan dan memberi kenikmatan tersendiri. Aku suka cara Yantiku memperlakukan aku, dia, gadis yang memegang komitmentnya, namun juga mengerti kondis pacarnya, dan memberikan jalan keluar yang bisa membuatnya tetap dangan komitmentnya, aku suka sekali.

Usiaku kini hampir 23, mama juga sudah hampir 43 tahun, Yanti sudah 27 tahun. Hampir 2 tahun sudah hubungan kami berlanjut. Kuliahku sudah hampir selesai,aku baru saja menyelesaikan dan menyetor skripsiku, jujur saja sejak kenal Yanti aku amat termotivasi, aku belajar dengan giat, skripsikupun amat terbantu. Kini aku santai dan tinggal menunggu hasil akhir dan wisuda, sudah tidak perlu rutin ke kampus. Mama menanyakan apakah aku mau bekerja secara penuh atau mungkin mau melanjutkan kuliahku lagi, karena mama tahu nilaiku bagus. Aku bilang cukup dulu deh kehidupan belajar, saatnya memulai kehidupan dunia pekerja, mama akhirnya memberikan dan menjadikan aku asisten pribadi atau mungkin lebih tepat wakilnya, kini semua urusan kantor bisa melalui aku atau mama. Kak Erni sendiri kini tinggal di jakarta, tinggal di rumahnya sendiri, menikmati kehidupan berumah tangga, tentu kami masih melakukan, namun dengan hati – hati, demi keamanan kami memilih hotel atau kalau memungkinkan di rumah aku. Tapi nampaknya ia bosan hanya di rumah, kebetulan kak Indra tidak melarangnya bekerja, jadilah ia bergabung di Perusahaan mama, tugasnya sesuai keahliannya yaitu untuk recruitment dan kepegawaian. Rencananya nanti ia akan menggantikan Bu Fenny yang akan pensiun, sebagai kepala SDM dan Operasional.

Hubunganku dengan tante Ani dan tante Vera..? Masih berlanjut, mungkin tidak sering namun sesekali masih sering kami bertemu menyalurkan hasrat. Sedang aku sendiri kini mulai berpikir serius untuk menikahi Yanti, kebetulan mama juga sudah sering menyinggung hal ini, aku sendiri belum bisa menjawab kapan....sering aku melamun memikirkan hal ini, baik saat di kantor maupun di rumah. Aku menikmati setiap detik dan setiap waktuku dengan Yanti, duniaku terasa lengkap dengannya, aku amat sangat menginginkannya sebagai istri. Namun hatiku bimbang....masih ada masalah yang tidak bisa aku lepaskan dan lupakan......mama.

Aku memikirkan, mungkin atau pasti mama akan mengatakan ia rela mengakhiri hubungan denganku, namun aku tidak. Dan juga aku yakin dan percaya kalaupun mama mengatakan ia rela, namun itu hanya demi kebahagianku, aku percata itu, wanita seusia mama saat ini sedang panas – panasnya dalam hubungan seks, bahkan aku mengakui sendiri, belakangan mama jauh lebih menuntut, selalu minta dipuasi, libidonya sedang meningkat, jadi aku juga harus tetap memikirkan kebahagiaan mamaku. Sangat dilematis, di satu sisi aku amat mencintai Yanti, dan ingin mengajaknya menikah, namun di sisi lain, aku juga tak mau mengakhiri hubunganku dengan mama. Terlebih mama sudah mengatakan, kalau akau menikah, aku tidak perlu beli rumah, rumah yang sekarang sudah cukup dan banyak kamar kosong. Mama mau aku dan Yanti tinggal di sana menemaninya.

Tingkat hubunganku dengan Yanti kini sudah mencapai level tertinggi, kami saling memahami dan pengertian, saling tahu isi hati masing – masing, memang Yanti tidak pernah mendesakku untuk menikahinya, ia ingin aku menyelesaikan kuliahku dahulu, namun aku tahu pasti isi hatinya. Pusing aku memikirkan mencari jalan keluarnya, Saat ini Jumat malam, bete deh, tadi sore Yanti pulang ke Semarang, katanya ada sepupunya akan menikah, sebenarnya ia mengajakku, namun aku bilang aku ada janji sama teman, dia mengerti dan tidak marah. Berarti sampai Senin baru aku bisa ketemu lagi. Lagi melamun, HP-ku berbunyi, SMS masuk, lho...tante Vera, sudah lumayan lama tak ketemu memang. Isinya singkat saja, dia tanya apakah aku bisa menemaninya 2 hari ini di hotel X..? Tumben di hotel pikirku, kujawab saja bisa. Tak lama ia membalas, nanti datang jam 10an saja, nomor kamarnya nanti akan ia SMS, ditambahkan lagi olehnya supaya aku naik taxi saja. Walau bingung dengan kemauannya, aku iyakan saja. Lumayanlah, refreshing..... Kulihat jam, masih jam 7 kurang, kucari mama, mama lagi santai nonton TV, aku bilang aku ada acara sama teman kuliah, tadi mereka telepon aku, hitung – hitung kumpul menjelang akhir kuliah, acaranya di Anyer, nginap, aku minta izin mama, mama memperbolehkan. Beres sudah. Mungkin karena aku mau pergi menginap, kulihat mama melirik menggoda ke arahku dan mulai membuka dasternya, nampaknya minta dipuasin dulu sebelum kutinggal, munta dikasih jatahnya dulu. Kurang lebih 2 jam kami bergumul dengan panasnya. Setelah itu aku mandi dan siap berangkat, aku bilang mama,aku naik taxi, nanti ikut teman. Sewaktu di Taxi, ada SMS masuk, tante Vera memberitahu nomor kamarnya. Setelah kubaca dan kuingat maka segera kuhapus semua SMS darinya, Yanti memang tidak terlalu sering membuka HP ku, tapi berhati – hati itu perlu kan. Tak lama tibalah aku di hotel X, segera menuju lift, dan akhirnya aku ketuk pintu kamarnya.

Tante Vera membuka pintu, astaga...baju tidurnya seksi sekali, super mini dan super tipis, di baliknya tante Vera tidak memakai pakaian dalam lagi, putingnya terlihat jelas, juga rambut kemaluannya yang agak lebat. Dia tersenyum padaku dan mempersilahkan aku masuk. Aku berjalan mengikutinya dari belakang, pantatnya nampak montok sekali, membuat tongkolku langsung mengeras, basa – basi percakapan nati saja deh, langsung ke menu utama saja pikirku. Segera saja aku memeluknya dari belakang, langsung membaringkannya di ranjang. Aku gumuli dan ciumi bibirnya dengan panas, tanganku meremas – remas teteknya, memainkan putingnya, tante Vera membalas ciumanku sambil tertawa kecil.

”Ugh..nggak sabaran amat kamu, Wan...”
”Salah tante sendiri, memakai busana yang terlalu mengundang, jadi adikku langsung nyetrum..”

Kini tanganku telah beraksi membelai dan memainkan belahan memiawnya, kumainkan jariku naik turun pada belahan memiawnya, lama kelamaan belahannya makin melebar dan terasa sedikit basah, kutuukkan jari tengahku ke lobang memiawnya, tangan tante Vera sendiri mulai membuka resleting celanaku dan meraih tongkolku, dielus dan diremas – remasnya. Setelah cukup puas dengan pembukaan awal ini, aku bangkit sebentar membuka seluruh pakaianku, tante Vera juga membuka baju tidur dan CD-nya. Aku lalu mulai menghisap putingnya, kujilati dan kumainkan lidahku pada kedua putingnya, membuat putingnya mekar dan membesar, terasa nikmat saat kukulum dengan lidahku. Akhirnya segera aku menuju selangkangannya, tante Vera mengambil bantal, ditaruhnya di kepala ranjang, ia bersandar di bantal tersebut, kakinya ia lebarkan memperlihatkan keindahan yang memabukkan pada selangkangannya. Terlihat lobang memiawnya yang agak merah merona mempesona, kumainkan lidahku menjilati lobang memiawnya, lalu kucari itilnya, dan kumainkan dengan nikmat dan cepat dengan lidahku, enak sekali menggoyang – goyang itilnya dengan ujung lidahku. Tante Vera mendesah penuh kepuasan, sesekali tangannya menarik dan meremas rambutku lembut. Aku makin bersemangat mengerjai itilnya, jari tengahku juga berpartisipasi menusuk lobang memiawnya, kombinasi kenikmatan untuk memiawnya. Desahannya makin cepat dan sering, pinggulnya sesekali bergetar, dan tak lama dia orgasme. Setelah diam sejenak, gantian aku disuruhnya berbaring.

Tante Vera langsung memainkan lidahnya menjilati seluruh tongkol dan bijiku, sesekali sapuan lidahnya menjilati sampai batas luar lobang pantatku, ganas dan enak lidajnya menjelajahi tongkolku, lalu bibirnya yang seksi mulai mengulum dan memasukkan tongkolku ke mulutnya, dipompanya dengan cepat, terasa cengkraman yang kuat namun tidak menyakitkan, bahkan nikmat. Lidahnya tetap menggelitik dan bermain.Sesekali ia berhent sejenak memompa, hanya mengemut dan menghisap saja, membuat tongkolku berdenyut – denyut, bijiku juga mendapat pijatan spesial dan sensual. Makin mahir saja tante Vera dalam urusan emut - mengemut ini. Lama juga tongkolku menapatkan servis maksimal dan sensasional dari mulutnya, tapi aku tidak mau keluar dengan hisapan mulut saja. Kutatap wajahnya, memberi tanda untuk menghentikan aksinya. Tante Vera akhirnya menghentikan emutannya. Segera kubaringkan dia, aku segera bersiap di atasnya, kakinya ia lebarkan, membuka dan memperlancar jalan masuk menuju gerbang kenikmatannya.

Tanpa tunggu lama segera aku arahkan tongkolku ke lobang memiawnya....blesss, mudah saja tongkolku menerobosnya, lobang memiawnya sudah basah karena rangsanganku tadi. Kupompa tongkolku dengan kecepatan sedang – sedang saja. Tanganku sesekali meremas dan memainkan teteknya. Tante Vera terus menatap wajahku yang sedang berkonsentrasi memompanya. Entah kenapa, namun sekilas aku melihat ada kesedihan pada tatapan matanya. Namun aku tidak terlalu memikirkannya saat itu, sedang enak dengan pompaanku, lobang memiawnya terasa pas banget dengan tongkolku, tidak sempit atau longgar, pompaanku terasa lancar dan nikmat, sesekali aku mainkan tongkolku di memiawnya, hanya menusuk – nusukkan kepala tongkolku aja di lobang memiawnya, membuat ia kegelian dan terkikik pelan. Aku lalu mulai mencium bibirnya, hangat dan lembut, tante Vera membalasnya, lama kami berciuman sambil tongkolku tetap menggoyang memiawnya. Memang kurasakan kali ini tante Vera memberikan perlawanan yang mengimbangiku, pingulnya berirama bergoyang mengikuti pompaanku, sementar ciumannya juga penuh kemesraan. Tangannya merangkul pundakku dengan kuat, kakinya sendiri melingkar di pantat dan pinggulku. Aku mulai mempercepat pompaanku, kini lidahku mulai menjilati leher dan telinganya membuatnya geli – geli syuurrr...

”Awww....geliiii...Wan...Ugh...”
”Terussss....Yanggg...dalaammmmm...”
”Ohhhhh....Ohhh......Ahhhhhhhh”

Dia kembali orgasme, aku hentikan pompaanku, lalu turun dari ranjang, segera menuju sofa, aku duduk di situ, tak lama tante Vera datang menghampiri, segera duduk di pangkuanku, posisinya menghadapku, kedua kakinya ia tekuk seperti berjongkok, berada di pinggira pahaku, ia menaikkan pinggulnya, lalu menurunkannya, menancapkan tongkolku ke dalam lobang memiawnya, kali ini ia yang mengendalikan goyangannya, tangannya kembali merangkulku, aku dekatkan mulutku ke arah teteknya, tetek dan putingnya aku lumat habis – habisan, gemas, aku beri cupangan pada teteknya, membuatnya tersenyum. Goyangannya makin cepat, sementara kami kembali berciuman dengan mesra. Kedua tanganku memegang pantatnya, meremas – remasnya. Entah berapa lama kami bermain dengan posisi itu, berapa lama kami berciuman, juga tante Vera kembali orgasme, kali ini kurasakan permainan kami amat santai dan mesra. Akhirnya kurasakan denyutan itu dan...Crooot...croot ...spermaku menyembur kuat, kupeluk dia dengan kuat, lalu kami terdiam lama, saling berpelukkan. Akhirnya ia bangun, mencabut tongkolku dari memiawnya, ia jilati sisa sperma yang masih ada di tongkolku, lalu duduk di sampingku, kepalanya bersandar di dadaku, aku membelai rambutnya.

”Yang tadi enak sekali Wan...”
”Iya tan...”
”Wan...tante ada mau omong sesuatu sama kamu...”
”Serius amat sih tan, lagian tumben kok pakai nginap di hotel segala...”

Tante Vera lalu bangun, kulihat membuka kulkas di kamar hotel, mengambil minuman ringan dan air mineral, diberinya satu padaku, aku ambil celanaku, kurogoh kantongnya, mengambil rokok dan Zippoku, kunyalakan satu, tante Vera duduk di sofa di depanku, kami masih tetap tanpa busana, kembali bercakap...

”Tante sengaja memilih hotel kali ini, biar lebih enak, juga karena kali ini sebagai moment special dan....,” kulihat raut kesedihan di wajahnya.
”Dan apa tan...? Tante kenapa...? Sakit...? Kok mendadak sedih begitu.”
”Nggak...nggak, tante rada berat ngomongnya....”
”Bicarakan saja, tan. Kalau tidak diomongin, mana Irwan tahu masalahnya..”
”I...iiya...maksud tante, kali ini juga sebagai moment perpisahan kita Wan.”
”Maksud tante...?”

Aku jujurnya tidak terlalu terkejut, karena sedari dulu memang sudah siap kalau hubungan ini akan berakhir. Namun tante Vera nampaknya agak sulit mengutarakannya.

”Yang harus kamu ketahui, selama tante berhubungan dengan kamu, tante puas dan bahagia, itu kamu sangat memuaskan, bikin tante kangen terus..”
”Hehehe...kalau itu jangan dibahas deh, tan.”
”hehehe...iya...iya, oke Wan, tante serius deh, tante akan meninggalkan Jakarta bulan depan, dan akan menetap di Kalimantan..”
”Hah...Kalimantan...? Jauh amat tan, lagian ngapain ke sana..?

Kulihat tante Vera terdiam sesaat, meneguk minumannya sebelum kembali meneruskan berbicara.

”Kamu tahu umur tante makin bertambah. Tante belum punya keturunan. Tante tahu kamu bisa memenuhinya, tapi mama kamu bisa ngamuk kan...? Juga keluarga tante pasti bertanya. Keluarga tante sudah mendesak agar tante menikah lagi. Nah, adik tante kebetulan mengenalkan tante dengan seorang pengusaha, duda, bisnisnya memang di sana, sudah hampir setahun tante berhubungan dengannya, tante juga sreg dengannya. Ya, kalau tak ada perubahan, 2 bulan lagi kami akan menikah. Kok diam...? Kamu marah,Wan...?”
”Marah..? Nggaklah, itukan hak tante, Irwan nggak bisa melarang. Malah Irwan turut senang dengan keputusan tante.”

Suasana jadi hening sejenak. Tante Vera nampak sedang tenggelam dengan pikirannya, sedang aku hanya diam menyaksikannya, sebenarnya tongkolku sudah bangun lagi melihat tante Vera yng duduk tanpa busana itu.

”Rumah di Jakarta tante akan jual Wan, percuma, nggak ada yang tinggalin. Si mbok kayaknya bakalan pulang kampung, nggak mungkin tante ajak ke sana.”
”Iya,tan...”
”Sesekali tante pasti akan ke Jakarta, dan kalau ke Jakarta pastinya tante akan menelepon kamu, Wan...”
”Terserah tante saja, yang penting tetap aman...”

Tante Vera bangun dari duduknya, mengambil tasnya, mengeluarkan amplop coklat ukuran sedang, lalu mengulurkannya padaku.

”Wan, selama menjalin hubungan dengan kamu, tante merasa senang dan puas. Semua gairah dan hasrat tante benar – benar dapat tersalurkan. Tante tidak menyesali hubungan ini, malah menikmati dan mensyukurinya. Mungkin kalau jalannya mudah dan tidak akan menimbulkan polemik, tante mau kamu nikahi,Wan, tapi itu mustahil kan...? Kamu terima ya, hadiah dari tante, sekaligus tanda perpisahan kita, tante harap kamu tidak menolaknya.”
”Apaan nih tan...?”
”Kamu buka saja, tante ingat dulu kamu pernah ngomong sambil lalu, jadi tante belikan saja buat hadiah kamu.”

Aku membuka amplop coklat tersebut, penasaran, kulihat ada kunci, BPKB dan STNK, kulihat STNKnya, STNK untuk mobil Sedan X, memang aku ingat dulu pernah ngomong kalau aku suka tipe mobil ini, sewaktu menonton TV acara otomotif di rumah tante Vera. Kuperhatikan lagi namanya atas namaku, alamatnya juga sesuai KTP-ku. Aku memandang tante Vera, aku tahu harga yang ia bayarkan sangat bisa ia jangkau, dengan uang peninggalan papa juga pemasukan dari saham yang ia punya, tapi rasanya terlalu mewah dan berlebihan buatku, belum lagi gimana aku menjelaskan ke mamaku, memang tabunganku sendiri lebih dari cukup buat beli mobil ini, tapi tidak mendadak begini.

”Kamu suka Wan..? Mobilnya ada di parkiran, nanti kamu bisa bawa pulang, tante ikhlas kok membelikannya buat kamu.”
”Bukannya tidak suka, tan, tapi ini terlalu mendadak dan terlalu mahal buat Irwan..”
”Nggak...tante benar – benar senang kok membelikannya buat kamu. Kamu harus terima, kalau menolak tante akan kecewa. Selama ini tante tidak pernah memberi apapun ke kamu, untuk kali ini tante ingin memberikan pemberian kenangan yang spesial, kamu harus menerimanya.”
”Aduh...gimana ya...”
”Ya..nggak gimana – gimana , kamu terima saja, beres.”

Aku diam, menyalakan sebatang rokok kembali. Memang aku senang, tapi aku juga tidak bisa begitu saja membawa pulang mobil itu ke rumah. Aku diam sejenak, berpikir. Tante Vera juga diam memandangku. Akhirnya sambil menghembuskan asap rokok, aku berbicara.

”Baiklah...Irwan terima, dan terimakasih sekali, sungguh terlalu mahal hadiah dari tante.”
”Nah begitu dong, tante senang kamu menerimanya, dan nggaklah...mahal atau murah itu relatif. Bagi tante itu cocok dan sepadan untuk kamu. Tante ikhlas membelikannya.”
”Tapi...begini tan, Irwan taruh dulu di rumah tante ya...”
”Lho...kok begitu..? Memangnya kenapa..? Katanya kamu terima.”
”Iya...tapi tan, Irwan musti cari akal dulu, nggak bisa bawa pulang begitu saja, nanti mama akan banyak nanya. Jadi Irwan taruh dulu ya di rumah tante. Oke..?”
”Baiklah...kamu benar juga, tante setuju.”

Aku lalu mematikan rokokku, meneguk miniman, lalu berdiri menghampirinya, kukecup pipinya dan kupeluk dia sebagai tanda terimakasih. Setelah itu..? Aku dan tante Vera kembali tenggelam dalam panasnya permainan seks yang membara. Dua hari itu kami habiskan dengan penuh gelora dan gairah. Kami melakukannya tanpa henti, berhenti hanya untuk makan saja. Kami menghabiskan waktu terakhir kami untuk mengukir semua kenangan ini. Kami tidak tahu kapan akan bertemu kembali, tapi kami tahu bahwa keindahan dan panasnya hubungan ini akan selalu tersimpan dalam salah satu ruang hati kami selamanya. Akhirnya minggu siang aku mengantar tante Vera denagn mobil baruku hadiah darinya. Di rumahnya kami sempat bermain sebentar, lalu tante Vera bilang mulai besok ia akan sibuk mengurus surat – surat pernikahan, surat – surat perusahaan, surat penjualan rumah, mungkin akan sulit bertemu aku lagi. Lagipula adiknya akan menginap menemani sekalian membantu membereskan barang untuk indah. Dia bilang nanti kalau aku datang mengambil mobil dan ia tidak ada, bawa saja. Tante Vera lalu memelukku lama, hanya memelukku tanpa kata. Akhirnya ia melepaskan pelukannya, tersenyum dan mengecup pipiku.

”Terimakasih untuk semua kenangan yang telah kita jalani selama ini Wan. Tante tidak mau menangis dan meneteskan air mata, biarlah saat ini kita kenang dalam senyum dan bahagia.”
”Sama – sama tan, Irwan juga berterimakasih. Semoga tante berbahagia dan bisa menjalani hidup baru yang lebih baik.”

Kami kembali berpelukan, meresapi moment ini, tanpa pernah tahu kapan dan mungkinkah kami akan berjumpa lagi. Akhirnya kami berpisah. Aku pulang naik Taxi, dalam Taxi aku hanya diam, berpikir...akhirnya satu hubungan telah berakhir..tante Vera semoga kau berbahagia.

Sesampainya di rumah mama sedang pergi, mungkin belanja atau ke rumah kak Erni, ya sudah, aku bisa tidur setelah 2 hari ini lembur menggarap tante Vera. Yanti belum menghubungi aku, mungkin repot. Akhirnya aku tertidur. Malamnya aku bangun, mama menyuruhku mandi, setelah itu kami makan, mama menanyakan acaraku kemarin dengan teman - teman, aku bohong saja bilang menyenangkan. Badanku sudah kembali segar sata ini. Setelah makan, kami nonton TV, sebentar saja, karena baru sebentar nonton, tongkolku sudah tidak sabar minta dicelupkan ke memiaw mama. Setelah puas bergumul dengan mama, kami berbaring, aku mendapat ide. Aku bilang ke mama, aku mau jual motorku juga mobil yang satu lagi, nanti hasilnya aku tambah dengan uang punyaku buat beli mobil sedan X, yang aku suka. Kubilang juga, aku kasihan sama Yanti kalau sering naik motor. Mama setuju, bahkan dia bilang, untuk kurangnya nanti dia akan menambahkan. Ya sudah, berarti urusan ini sudah beres. Kumatikan TV, kuajak mama ke kamarnya, menyambung acara panas kami.

Tak butuh waktu lama, kurang dari seminggu motor dan mobil sudah terjual, mama lalu mentransfer sisa kekurangannya ke rekeningku ( Sebenarnya sih nggak kurang, cuma akal – akalan biar mama nggak curiga, bisa kiamat kalau mama tahu aku dapat hadiah mobil dari tante Vera, apalagi kalau samapai tahu kalau aku begituan sama tante Vera.). Tak sampai dua minggu mobil dari tante Vera sudah bisa kubawa, aman dan mama tidak akan pernah curiga. Berarti urusan ini sudah beres.

Tiga bulan ke depan kujalani dengan banyak berpikir, Yanti bukannya tidak tahu kalau aku sedang memikirkan sesuatu hal, tapi aku belum siap menceritakan masalah ini, belum waktunya. Beban pemikiran sedikit terlupakan ketika aku diwisuda, mama, Kak Erni dan kak Indra juga Yanti menghadiri wisudaku. Semua senang, aku sendiri diwisuda dengan nilai yang amat memuaskan. Kini aku benar – benar sudah selesai melalui dunia pendidikanku dan memulai karir penuh sebagai pekerja. Sedikit demi sedikit mama mulai mengalihkan pekerjaannya ke aku, memberiku tanggung jawab dan kepercayaan lebih. Aku sendiri makin menikmati keasikan menjalani kehidupan dunia kerja.

Tanpa terasa kini usiaku sudah memasuki umur 23 tahun, bahkan hampir 24, masa pacaran sudah kujalani hampir 3 tahun, mama dan kak Erni sendiri sudah mulai sering menanyakan kapan aku mau menikah. Yanti sendiri tetap sabar. Suatu malam aku sendiri di kamarku, mendengarkan musik dengan lagu romantis sambil merokok, frewkwnsi merokokku agak naik belakangan ini, kembali aku larut dalam pikiranku, jujur saja aku ingin segera mengakhiri masa pacaranku dengan Yanti dan mulai bab baru, ya..aku ingin menikahinya, tapi masalah hubunganku dengan mama amat sangat menjadi problema yang belum mampu aku temukan jalan keluarnya, memberitahu hal ini ke Yanti tidak semudah membalik telapak tangan. Tak terasa hampir setengah bungkus rokok kuhisap...ya, nampaknya memang sudah tiba waktunya....makin ditunda maka aku tidak akan pernah tahu jawabannya. Prinsipku pasti, tidak ada rahasia, bisa saja aku tetap menikahi Yanti dan merahasiakan hubunganku dengan mama, namun otakku sudah memperhitungkan, akan banyak masalah kalau hal itu kulakukan. Baiklah...keputusanku sudah bulat, besok aku akan bicara kepada Yanti, mungkin inilah pembicaraan paling penting dalam hidupku. Kumatikan lagu yang sedang menyala, malam ini tidak ada acara panas dulu dengan mama, aku butuh istirahat, menyiapkan mental.

Sabtu siang, kantor libur, aku menuju rumah Yanti, seperti biasa Yanti menyambutku dengan senyumnya yang manis. Menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Setelah lama kami berbincang ringan aku segera menetapkan untuk memulai niatku.

”Yan...aku mau ngomong sesuatu...serius ke kamu.”
”Duh...ngomong saja Wan, formal banget sih.”
”Serius nih...Yan, sudah lama kita berpacaran, aku amat ingin meresmikan hubungan ini ke jenjang pernikahan, tapi ada hal – hal yang perlu aku bicarakan..”

Kulihat wajah Yanti bercampur aduk, senang, tegang menjadi satu, nampaknya Yanti memang sudah menunggu aku mengajaknya menikah. Tapi juga ia tegang menunggu apa kiranya hal yang ingin aku sampaikan.

”Bicaralah Wan, kalau itu penting untuk hubungan kita, aku siap mendengarkan.”
”Baiklah...tapi sebelumnya aku ingin kamu mendengarkan dahulu. Yang ingin kusampaikan adalah hal yang amat sangat rahasia, aku tidak tahu bagaimana reaksimu, tapi apapun itu baik atau buruk, aku minta kamu memegang rahasia ini, aku percaya kamu bisa memegang amanat ini.”

Dan aku mulai membuka rahasiaku. Rasanya seperti Deja Vu, seperti saat aku menceritakan hal ini ke kak Erni dan tante Ani. Aku ceritakan awal mula hubunganku dengan mama, alasan hubungan ini, sama persis dengan saat dulu aku menerangkan hal ini ke kak Erni dan Tante Ani. Bedanya Yanti tidak pernah menyaksikan. Ekspresi wjah Yanti tidak bisa kulukiskan, marah, kaget, sedih, bingung, semua menjadi satu ketika aku mengakhiri penjelasanku.

”Jadi begitulah Yan, itulah rahasiaku, aku hanya bisa berharap kamu memegang rahasia ini, aku percaya kamu, makanya aku berani menceritakan hal ini. Satu hal yang harus kamu ingat, aku tidak bisa memulai babak baru hubungan kita dengan menyimpan rahasia. Aku mau menikahimu tapi aku mau jujur ke kamu. Aku sayang kamu, cinta kamu, tapi aku juga sama menyayang mama, aku tidak bisa memilih atau menepikan kalian. Kalian adalah wanita yang aku sayangi dan cintai dalam hidupku. Sekarang aku lega sudah membuka semua ini kek kamu. Keputusan ada padamu.”
”Wan....i...ini bohong kan, kamu sedang becanda kan...? Katakan ini bohong, Wan...katakan Wan.”

Aku tak mampu memandang wajah Yanti lama – lama, kulihat air matanya menetes saat aku hanya mampu menggelengkan kepala, menyatakan aku serius dengan ceritaku tadi. Yanti hanya menangis tanpa suara, aku sangat tersiksa melihat pujaan hatiku bersedih, aku coba merangkulnya untuk menenangkannya. Tapi Yanti menepis tanganku.

”Wan...ka..kamu pulang saja sekarang, hal ini terlalu gila dan berat rasanya buat aku. Aku amat terkejut dan sampai detik ini tidak bisa dan tidak mau mempercayainya. Kumohon kamu pulang saja Wan.”
”Ta...tapi Yan...”
”Wan...tolong dengar permintaanku...pulang. Biarkan aku sendiri. Kamu tidak usah takut, aku tidak akan mebocorkan rahasiamu dan mamamu, tolong sekarang kamu tinggalkan aku sendiri, Wan.”

Akhirnya karena bingung dan juga tidak tahu harus bicara atau melakukan apapun, aku melangkah keluar, aku ragu apakah mau mengecup Yanti dahulu, tapi sudahlah, momentnya amat sangat kacau saat itu, aku hanya mengatakan secara lirih, aku pulang dulu, lalu menuju ke mobilku. Lama aku mengendarai mobil dalam keheningan, pikiranku kosong, untung saja tidak menabrak. Akhirnya kuarahkan mobilku ke pantai, hari belum terlalu sore. Kuparkir mobilku, aku duduk di tepi pantai, suasananya agak ramai, tapi aku berhasil menemukan tempat yang agak sepi. Sambil merokok, aku tenggelam dalam pikiranku. Ya...semua sudah kukatakan, kini aku hanya bisa menanti dan berharap pengertian Yanti. Aku memang percaya, kalaupun endingnya buruk, Yanti pasti tetap akan memegang rahasia ini. Aku tahu betul pribadinya.Memang aku masih berbohong padanya, aku hanya menceritakan hubunganku dengan mama, tidak menceritakan hubunganku dengan kak Erni dan tante Ani, tapi..hei, tidak ada manusia yang sempurna. Lagipula yang paling krusial memang hubunganku dengan mama, kalau kami menikah, kami akan tinggal serumah dengan mama. Kini tinggal menunggu, semoga...ya semoga semua bisa berakhir dengan baik, aku sendiri tidak tahu bagaimana aku menjalani hidupku bila hubunganku berakhir dengan Yanti, aku sudah teramat yakin bahwa Yanti adalah pelengkap aku dalam menjalani sisa hidpku nanti. Akhirnya langit memerah, matahari dengan ceriah dan indahnya seakan meledek kegundahan hatiku mulai terbenam, aku melangkah ke tempat mobilku kuparkir. Pulang.

Sesampainya di rumah, aku bersikap biasa, tidak dan belum bisa menceritakan hal ini ke mama. Mama hanya bertanya kenapa jam segini sudah pulang, kujawab singkat saja, Yanti ada acara sama temannya. Malamnya Yanti tidak SMS atau menelepon, aku juga tidak SMS atau meneleponnya. Biarlah, kini waktu tegang dan krusial bagi hubungan kami. Perlu ketenangan untuk berpikir dan membuat keputusan. Malam itu aku sedikit ogah – ogahan melayani mama.

Senin pagi di kantor juga Yanti bersikap dingin dan berusaha selalu menghindariku, tapi sikapnya pada mama dan kak Erni tetap seperti biasa. Ya sudah pikirku...biarkan saja dulu. Tetapi ternyata sampai hampir satu setengah bulan sikapnya tetap sama, dingin dan acuh. Menghindariku terus. Mama dan kak Erni tidak curiga karena sikapnya di depan mereka tidak berubah. Mama tahunya kalau sabtu atau minggu aku ngapel ke rumahnya, padahal kalau aku ke sana, pintu selalu terkunci, dan aku akhirnya ngelayap ke mana saja. SMS atau teleponku selalu diabaikan. Berbicara seperlunya saja dan juga kalau di kantor dan hanya berhubungan dengan kerjaan kantor saja.

Semakin lama, akhirnya aku tersiksa dan jadi kesal juga, bagiku lebih baik utarakan saja apa maunya, jangan biarkan semuanya berlarut – larut. Ketika masa dingin dan acuh ini hampir memasuki 2 bulan, aku sudah memutuskan, cukup sudah, bagaimana caranya aku harus bisa membuatnya berbicara langsung ke aku, bila memang harus berakhir, sepahit dan seberat apapun harus kuterima dan kujalani. Sabtu siang nanti aku akan ke rumahnya, harus ada penyelesaian kali ini. Dan seperti telepati saja atau kontak batin, sabtu pagi ketika aku bangun, masih bermalas – malasan, HP-ku berbunyi, masih mengantuk kuraih HP-ku, ada pesan masuk, kulihat pengirimnya....hah...Yanti, langsung saja aku terjaga penuh dan segera bangkit, duduk di tempat tidur....tegang, menarik nafas sebentar, kubuka pesannya...

Nanti siang, tolong datang ke rumahku...kita perlu bicara mengenai hubungan kita.

Singkat, padat, resmi dan jelas. Aku sengaja memutuskan untuk tidak berpikir, biarlah semua mengalir, siang ini akan ada jawaban, manis atau pahit aku tidak tahu, tapi sudah pasti siang ini, beberapa jam lagi, jadi aku tidak mau membebani otakku dengan pemikiran yang macam – macam. Sekarang aku hanya perlu tenang dan rileks, kutaruh HP-ku, dan aku mulai meraba dan menjamah tubuh mama yang masih tertidur, ini yang paling tepat untuk menenangkan pikiranku. Tetek dan memiaw mama akan membuat pikiranku tenang dan meredakan keteganganku, selalu dan pasti. Pagi itu aku habiskan dengan bergumul dengan mama.

Siangnya aku berangkat menuju rumah Yanti, sesampainya di sana, Yanti sudah menunggu, ia mempersilahkan aku duduk, masuk ke belakang, mengambil minuman. Sewaktu datang tadi, aku mencoba membaca isi hatinya dan juga ekspresi wajahnya, namun tidak berhasil, sikapnya tenang dan netral, wajahnya tidak menunjukkan suatu emosi apapun. Akhirnya ia kembali dan membawa minuman, mempersilahkanku minum, ia duduk di sofa dekatku, menungguku menyelesaikan minumku.

”Wan..., maaf telah mengabaikan kamu hampir 2 bulan ini.”
”Terus terang, awalnya aku bisa maklum Yan, tapi akhirnya memang kesal juga. Untung akhirnya kamu SMS aku hari ini.”
”Ya sudah...kali ini aku butuh waktu untuk mencerna dan menenangkan pikiranku. Apa yang kamu utarakan amat mengejutkanku.”
”Ja...jadi ba..bagaimana, Yan...?”

Kutatap wajahnya, ekspresiku amat tegang saat itu. Berharap, tapi jujurnya amat sangat tidak siap untuk kecewa.Yanti diam sejenak, lalu mulai bicara.

”Kalau aku bilang sebaiknya kita mengakhiri hubungan ini, kamu bisa menerimanya Wan..?”

Jeder...Duar...Bluk..., aku walaupun sudah mempersiapkan diri untuk mendengar kemungkinan terburuk ini, tetap saja shock saat mendengarnya langsung dari mulut Yanti.

”Ka..kalau secara jujur, tentu saja tidak Yan. Tapi kalau kamu sendiri mau mengakhiri, apa dayaku, kalau hubungan ini hanya sepihak saja, tentunya tidak akan bisa berhasil. Tapi tetap saja aku tidak bisa Yan, aku sudah terlalu dalam mencintaimu.”
”Sudah aku duga, pasti kamu tidak bisa menerimanya. Aku juga sama Wan, aku juga teramat sayang dan cinta sama kamu.”
”Lalu kenapa kamu menanyakan hal itu, Yan...?”
”Aku perlu tahu, apa jawabanmu kalau aku memintamu mengakhiri hubungan kita.”

Aku hanya diam, memandang wajahnya, bola kini ada di Yanti, aku hanya bisa menunggu, sebingung apapun aku harus mengikuti alur dan juga arah pembicaraan yang ia buat. Jadi aku hanya diam menunggu ia kembali berbicara.

”Jujurnya aku amat senang ketika kamu membicarakan niatmu untuk menikah denganku Wan, aku memang menunggunya. Aku menunggunya karena aku mencintai dan menyayangimu. Bukan karena hal lain. Tapi aku amat sangat terkejut dan kaget, marah, kecewa, sedih bahkan muak dengan ceritamu waktu itu.”
”Ma..maafkan aku Yan, tapi memang itu kenyataan dan keadaannya.”
”Lama aku merenungi dan memikirkan semua hal ini, semua awal, alasan dan juga kejujuranmu aku pikirkan terus, bolak – balik aku pikirkan. Mungkin di awalnya yang bicara dalam pikiranku adalah kemarahan dan emosi. Berat...bahkan teramat berat untuk aku pikirkan, namun lama kelamaan saat sudah reda kemarahanku aku bisa berpikir secara jernih.”

Sampai sini Yanti diam, mengambil minuman, meneguknya, nampak menenangkan dirinya, aku hanya diam saja menunggu dengan perasaan tak menentu. Kau tak berani memulai percakapan, masih menunggu keputusan final apa yang akan ia lemparkan hari ini.

”Nampaknya kamu amat menyayangi mamamu, aku bisa melihatnya selama kita berpacaran, namun rupanya jauh sebelumnya kalian sudah berhubungan, dan nampaknya kamu tidak bisa mengakhirinya, karena rasa sayang dan juga alasan yang telah kamu utarakan.”
”Be...betul, Yan. Berat bagiku untuk memilih. Aku juga sayang mama.”
”Baiklah....Wan, memang aneh mendengarnya, tapi ketika aku sudah tenang, aku mulai bisa menerima penjelasanmu dan alasanmu. Memang kalian tidak merugikan siapapun. Hubungan kalian sudah berlangsung sebelum kamu mengenalku. Mungkin mamamu juga tidak bisa memberikan hatinya ke pria lain karena kecewa dengan perlakuan almarhum papamu.”
”Te..terimakasih kalau kamu bisa mengerti. Yan.”

”Lalu kita bertemu, menjalani masa pacaran, mengenal lebih dalam satu sama lain, dan cocok, kamu memutuskan untuk menikahiku, namun tentu menjadi dilematis bagimu, seperti katamu, kamu bisa saja tidak memberitahuku, namun kamu tidak mau berdusta padaku. Untuk point ini, aku hargai kamu mau jujur padaku, Wan.”
”Ya..memang benar, aku tidak mau berdusta mengenai hal ini, karena kalau kita menikah, kita akan tinggal bersama mama, dan karena aku tidak mau mengecewakan mama, maka aku belum bisa mengakhiri hubunganku dengannya, jadi kamu harus punya pengertian. Maaf, bukannya aku konyol, tapi begitulah situasinya Yan.”
”Ya...aku paham. Jadi rasanya sudah aku utarakan aku mengerti situasi dan alasanmu untuk menceritakan hal ini.”

Sampai sini yanti diam, wajahnya tetap netral, sulit membaca isi hatinya. Yanti malah menanyakan apakah aku mau tambah minum, aku menggeleng, Yanti kembali diam. Aku jadi ikut diam, lama kami hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing – masing. Lama – lama kau tidak tahan, jadi gelisah..dengan sedikit gugup aku beranikan bertanya.

”Ja...jadi..ba..bagaimana ke..keputusanmu mengenai hu..hubungan kita..?”

Yanti malah hanya memandangku, melihatku dengan ekspresi seakan pertanyaanku itu aneh dan tidak patut aku tanyakan. Aku jadi salah tingkah dan tambah tegang.

”Bagaimana apanya..? Jangan tanyakan itu, aku masih bingung, Wan.”
”Nggak...nggak bisa Yan, aku sudah jujur dan siap menanggung resiko, memberi waktu untuk kamu berpikir, jadi rasanya tidak adil kalau kamu menunda atau tidak memberikan kejelasan. Pokoknya kamu harus memberikan kejelasan mengenai hubungan kita hari ini. Manis atau pahit, itu resikoku, tapi aku tidak mau kalau kamu membiarkan aku menunggu dan terombang – ambing lagi. Cinta dan sayangku teramat besar, kalaupun kamu menolak, aku harus bisa menerima, dan mendoakan kamu bisa mendapatkan yang terbaik.”

Aku meluapkan semua kesalku, ya, bagiku sepahit apapun resikonya, mau tak mau akan dan harus kuterima, tapi aku tak mau menunggu lama lagi. Kembali Yanti menatapku dengan ekspresi ganjil dan aneh, lama ia memandangku, wajahnya tetap netral dan tanpa ekspresi.

”Lho..kenapa kamu marah begitu Wan...?”
”Lha iyalah, aku mau kejelasan, aku sudah jujur dan siap dengan segala resikonya, jadi tidak mau menunggu lagi, Yan”

”Wan...Wan, aku memang jujur waktu aku mengatakan aku masih bingung.....bingung menentukan bulan apa kira – kira kita akan menikah.”
”A...APA....?”

Jeder...Duar...Bluk..., kembali Yanti membuatku KO dengan jawabannya. senang sih mendengarnya, tapi di tengah situasi ini pastinya kaget mendengar jawabannya yang santai dan tenang, sementara hatiku sendiri kebat – kebit. Kupandang wajahnya, kali ini ekspresi wajahnya amat...amat sangat ceria.

”Yang...yang benar Yan...., serius nih.”
”Wan...Wan, tenang...dan dengarkan aku. Penjelasanku akan panjang kali ini. Nah sekarang dengarkan ya. Seperti kataku, akhirnya aku bisa menerima dan mengerti alasan dan kondisi kamu, juga amat menghargai kejujuranmu yang siap mempertaruhkan hubungan kita, dari situ juga aku menarik kesimpulan memang kamu juga menyayangi dan mencintai mama kamu. Memang betul lama aku memikirkan...lanjut...tidak...lanjut...tidak, namun akhirnya aku harus jujur, masa – masa aku mengenal dan menjalani hubungan bersamamu adalah moment terindah dalam hidupku, aku merasa disayangi, dilindungi, dicintai dan diperhatikan. Sikap mama kamu, kak Erni juga sama. Memang hubungan kamu dengan mamamu sulit diterima, tapi hal itu sudah terjalin sebelum mengenalku. Wan, aku mau kamu tahu, aku juga sayang dan cinta sama kamu, siap menerima kamu apa adanya. aku mau karena kamu bukan karena motif apapun, bahkan kamu bisa membuat perjanjian pra nikah, aku tidak mengejar materi. Keluargaku juga mampu. Aku bisa menerima konsekwensinya, aku juga sayang mamamu. Mencintai dan menyayangi berarti mau menerima semua kelebihan dan kekurangan, kebaikan dan keburukan pasangannya. Jadi, aku tidak akan mempersoalkan hubungan kamu dengan mama kamu.”

Sampai sini Yanti berhenti dan menghela nafas sejenak, lalu melanjutkan bicaranya

”Secara logika, etika, ataupun sudut pandang apapun hal ini tidak wajar, namun bila memang itu yang harus aku relakan, maka aku rela dan ikhlas. Ikatan dan hubungan antara kalian sudah terjalin secara kuat dan lama, sudah pasti sulit menghentikannya. Jadi biarlah nanti waktu secara alami yang memutuskan dan mengakhirinya. Juga lebih mudah bagiku menerimanya bila wanita itu adalah mamamu, jadi itulah keputusanku.”

Lama aku terpana setelah mendengar penjelasannya. Terharu, kagum, makin sayang dan cinta dengan keterbukaan dan juga pengertiannya. Yanti memang penuh kejutan dan sulit ditebak. Setelah tenang dan bisa menguasai euforia ini, aku seperti tersadar, langsung aku berdiri dan berlutut di hadapannya. Waktu itu tidak benar, jadi kali ini harus dengan cara yang tepat dan sesuai. Romantis banget gayaku saat itu...

”Yanti Wulandari..ma..maukah kau menikah dan menerimaku apa adanya.”
”Ya...Irwan Setiawan, aku mau.”

Lama kami saling berpandangan, penuh rasa senang, haru, bahagia. Lalu kami berpelukan, erat sekali, dan akhirnya berciuman dengan lembut dan mesra. Lega rasanya akhirnya beban berat itu bisa terangkat dan berakhir indah. Air mata haru dan bahagia mengalir membasahi pipi Yanti. Akhirnya kami kembali bercakap – cakap.

”Kamu hebat Yan, bisa menjaga ekspresimu, aku sampai tegang menebak jawabanmu.”
”Ya...itu sebagai hukumanmu, Wan, kamu sudah membuat aku berpikir keras selama hampir 2 bulan ini.”

Kami kembali melanjutkan bercakap, didominasi mengenai rencana pernikahan, aku mengajak Yanti menemui mama sore ini, Yanti setuju. Dia bilang dia mandi dulu, dan menyuruhku menunggu, aku menunggu, terdengar suara air dari kamar mandi, pikiranku senang dan tenang, dadaku terasa lega karena beban itu sudah terangkat. Tak lama kudengar suara Yanti memanggil dari kamar, aku segera melangkah ke arah kamarnya, Yanti sudah selesai mandi, paling minta pendapat mau pakai baju apa. Pintu kamarnya dibuka, Yanti hanya membalut tubuh indahnya dengan handuk saja, tapi aku tidak punya pikiran macam – macam.

”Masuk saja,Wan, duduk di situ saja, di pinggir kasur.”

Aku masuk dan duduk, sementara Yanti kulihat membuka lemari bajunya, menanyakan baju ini atau yang itu cocok nggak, aku memberi saran, akhirnya ia berhasil memutuskan memakai baju yang mana, aku bersiap bangkit dan mau keluar. Yanti kembali berbicara.

”Wan, aku senang sekali akhirnya kita akan segera menikah.”
”Aku juga Yan..senang dan bahagia.”
”Jujur saja, Wan, 2 bulan belakangan adalah masa terberat dalam hubungan kita, namun juga masa paling penting, karena itu adalah pijakan untuk menuju babak baru.”
”Aku sependapat Yan.”

Kulihat Yanti menutup pintu lemari, dan berbalik berjalan ke arahku, masih mau bicara pikirku.

”Wan, kurasa aku memang akan melanggar janjiku, tapi tidak sepenuhnya...”
”Aku nggak paham Yan.”

Dan tanpa kuduga Yanti melepaskan ikatan handuknya, astaga....indah sekali tubuhnya, proposional dan menggairahkan, baru kali ini kulihat tubuhnya tanpa busana dalam jarak dekat dan sejelas ini.

”Yan..a..apa yang kamu lakukan...?”
”Aku pernah berjanji akan memberikan milikku yang paling berharga hanya untuk suamiku saja, memang sepatutnya pada saat malam pertama, tapi aku rasa aku akan melanggarnya, tapi tidak parah – parah amat, tetap akan kuberikan pada kamu yang akan segera menjadi suamiku, mungkin hanya mempercepat waktunya.”
”Ta...tapi Yan, kamu..se..serius...?”
”Wan...aku menginginkannya, saat ini.”

Aku terpana mendengar kalimatnya yang terakhir, sangat lembut saat ia mengatakannya. Segera aku berdiri, kupandangi kembali tubuhnya, teteknya besar dan indah, bulat dan masih kencang, putingnya besar dan coklat kemerahan dikelilingi lingkaran aerola yang menawan, memiawnya dihiasi rambut kemaluan yang lumayan lebat namun tertata rapi. Aku segera mendekat.

”Kita lakukan pelan – pelan saja ya, aku mau kamu menikmati moment pertamamu secara berkesan dan tidak menyakitimu,Yan.”
”Iya..., kamu bimbing aku ya, kamu kan lebih berpengalaman.”

Segera kubimbing Yanti, membaringkan ia ke tempat tidur, aku membuka baju dan celanaku. Perlahan aku naik ke tempat tidur, mulai menciumi bibirnya, lembut dan hangat, lidah kami saling bertautan, tanganku sesekali membelai rambut dan wajahnya. Yanti juga memeluk bahuku dengan penuh rasa sayang. Kali ini selain nafsu bicara, juga diselimuti rasa cinta yang membara.

Puas berciuman, aku hentikan ciumanku, kupandang sejenak wajah Yanti, kami saling tersenyum, lalu aku mulai mengarahkan mulutku ke teteknya, indah sekali teteknya, indah dan montok, masih kencang, tongkolku tambah keras saja. Segera tangan dan mulutku menjelajahi dan melumatnya dengan lembut. Yanti mendesah saat putingnya kujilat dan kuhisap dengan gemas, puting yang tadinya malu – malu, akhirnya mengembang dan membesar, enak sekali saat kukulum dengan lidahku. Mungkin karena pertama kali aku bisa sepuasnya memandang dan memainkan teteknya, maka cukup lama aku beraksi di sana.

Akhirnya sampailah aku ke lembah indah miliknya, Yanti nampak malu dan agak menutupi memiawnya, namun kucegah dan kutepis dengan halus tangannya, indah dan menawan sekali belahan memiawnya, masih rapat dan dihiasi rambut kemaluan yang lebat namun tertata rapi, menambah keelokannya. Mulutku mulai mendekat dan menciumi rambut kemaluannya, aku bertekad membuat Yanti mengalami rangsangan semaksimal mungkin, agar tidak terlalu sakit saat nanti kumasuki. Jariku dengan lincah dan lembut mulai membelai dan mengelus belahan memiawnya, perlahan terasa bunyi cairan, memiawnya mulai basah, aku dekatkan lidahku, perlahan dan lembut kulebarkan memiawnya, nampaklah lobang memiawnya, merah jambu dan sangat harum aromanya, membuat aku mabuk kepayang. Kusapu lobang memiawnya lembut dengan lidahku, itilnya pasrah menanti kujilati, akhirnya memang kumainkan dan kujilati itilnya dengan lidahku, Yanti kelojotan merasakan untuk pertama kali dalam hidupnya betapa nikmatnya saat itilnya dijilat dan dimainin dengan lidahku. Sengaja aku terus menjilati dan sesekali mengulum lembut itilnya. memiaw Yanti sudah basah digarap oleh permainan lidah dan mulutku, aku tak mau memainkan dengan jariku takut kelupaan nanti malah kusodok pakai jari. Yanti terus mendesah dan menggoyangkan pinggulnya.

”Ugh,,,Wan....geeellliii....tapiiiii...eeennnaaakk k....”
”Ooohhh...Sumpaaahhhh......eeennaaaaakkk....aaahhh hh....”
”Awwwww.....Wannn......Ughhhhh....”

memiawnya sudah basah sekali, namun aku terus saja menggarap itilnya dengan lidahku, aroma memiaw Yanti sungguh memabukkan nafsuku, harum dan enak. Entah sudah berapa lama dan juga makin sering saja Yanti mendesah dan mengerang, akhirnya Yanti mengejang dengan kuat dan hebat...orgasme pertamanya.

Wajah Yanti nampak kelelahan dan juga puas penuh kenikmatan, aku hentikan goyangan lidahku pada itilnya, memberinya waktu beristirahat dan juga menikmati sensasi yang baru pertama kali ia rasakan.

”Yan, benar kamu mau...?”
”Wan...jangan tanya lagi ah...ayo dong lanjutin...enak sih.”
”Baiklah nanti kalau sakit kamu bilang saja, atau kalau memang kamu tak tahan, bilang saja biar aku hentikan.”
”Kamu nggak mau aku hisapin...?”
”Kali ini nggak, aku nggak sabar mau masukkin punyaku ke punyamu, Yan. Kan untuk selanjutnya bisa.”
”Huh dasar kamu ini....hehehe.”
”Yan, nanti aku keluarin di luar ya.”
”Jangan Wan, di dalam juga aku tidak keberatan, ini sudah jauh dari masa suburku, juga kalaupun jadi tidak masalah, toh kita sudah mau menikah...di dalam saja, biar kamu juga enak.”
”Kalau kamu yakin, baiklah.”

Aku segera menaikkan tubuhku, memposisikan tubuhku di atas tubuhnya, kusuruh Yanti melebarkan kakinya, dengan lembut dan perlahan sekali, aku dekatkan dan arahkan kepala tongkolku ke lobang memiawnya, mula – mula kepala tongkolku sengaja aku gesek – gesekkan dulu, memiawnya sudah basah, syukurlah, jadi akan memudahkan dan mengurangi sakitnya. Setelah yakin, akhirnya perlahan aku coba benamkan tongkolku, meleset...coba lagi...meleset lagi, akhirnya setelah beberapa kali berusaha...jleb, perlahan terasa kepala tongkolku sedikit menerobos lobang memiawnya, kulihat wajah Yanti, belum apa – apa, kutekan lagi perlahan, Yanti menjerit pelan dan agak meringis, aku jadi berhenti, namun Yanti tersenyum dan mengangguk, kutekankan lagi, Yanti menahan jeritannya dan wajahnya meringis, akhirnya tongkolku yang panjang amblas seluruhnya, saat tongkolku amblas seluruhnya Yanti menjerit agak keras, ringisannya juga nampak semakin kuat, aku sengaja mendiamkan tongkolku, memang rasanya sempit sekali, terasa ada sedikit cairan mengalir membasahi belahan pahaku dan belahan paha Yanti.

”Sakit yang...?”
”Sakit dikit Wan, nggak apa – apa kok, terusin saja, kalau memang sakit sekali aku bilang ke kamu.”

Setelah mendapat persetujuannya, aku mulai dengan perlahan memompa tongkolku, mula – mula Yanti meringis dan menjerit pelan, saat itu memang terasa kesat dan sulit sekali menggerakkan tongkolku, sesekali aku berhenti, memberi waktu pada Yanti. Akhirnya setelah beberapa lama secara perlahan aku memompa, kurasakan pompaanku mulai melancar, seperti ada pelumasnya, tongkolku makin mudah bergerak dalam lobang memiawnya, wajah Yanti juga sudah mulai tidak terlalu meringis. Kupercepat sedikit pompaanku, dan kini terasa benar – benar lancar gerakan tongkolku. Sensasinya memang beda, sempit juga terasa kuat sekali cengkeramannya pada tongkolku, baru kali ini aku alami. Aku jadi nafsu dan bergerak dengan cepat.

”Aw...jangan terlalu cepat Wan, sakit.”
”Ups...sori..sori, habis memiaw kamu enak sekali terasa Yan.”

Aku mulai mengurangi kecepatanku, kini sambil memompa tongkolku, aku mulai menciumi bibir Yanti, Yanti membalasnya, mula – mula ciuman ringan dan lembut, akhirnya menjadi saling berciuman dengan panas, tanganku juga mulai meremas teteknya, terasa keras dan kenyal di tanganku. Lidahku kini mulai beraksi menjilati leher dan wilayah telinganya, membuat Yanti kegelian dan terengah – engah, kini ia mulai mendesah nikmat, pertanda mulai menikmati pemainan ini. Aku ingin memberikan kesan pertama yang indah padanya.

memiaw Yanti kini benar – benar basah dan terasa mulai lancat sekali saat tongkolku bolak – balik memompanya, kupercepat sedikit pompaanku, Yanti tidak mengeluh, nampaknya sudah mulai merasakan sensasi dan enak pada memiawnya, aku jadi gemas, sambil kusodok, aku mulai menghisapi putingnya, putingnya benar – benar sudah mancung dan mengeras, makin enak buat dihisap. Yanti menaikkan kedua tangannya ke atas sambil mendesah nikmat, lidahku kini menjilati keteknya, memang bersih dan tak berbulu, aromanya juga wangi dan harum. Kupompa tongkolku dengan kecepatan tetap, memang terasa agak ngilu tongkolku, mungkin karena sempitnya lobang memiaw Yanti, namun juga terasa nikmat. Memang Yanti belum berpengalaman, selama kusodok, ia belum bisa mengimbangi, namun itu hanya masalah waktu, kalau sudah terbiasa nant juga pintar kok hehehe.

”Ugh...Wannn...enaaak....Aahhhh...”
”Iya...aku jugaaaa...Yan...”
”Terussss Wan...Ohhhhhh....Awwww...”

Yanti mengejang kembali, orgasme pertamanya saat memiawnya dipompa tongkol, kali ini aku tak berhenti, tetap saja memompa tongkolku, membuatnya belingsatan, mendesah dan mendesah, matanya merem melek menahan nikmat gerakan tongkolku pada memiawnya. Gemas aku melihatnya, kucari teteknya, kucupang dekat putingnya, meninggalkan bekas merah panjang. Aku tidak berpikir untuk merubah posisi, untuk pertama kali, biarlah gaya tradisional ini saja, masih ada kesempatan dan waktu untuk gaya lainnya. Yanti makin kuat mendesah dan memelukku, rasanya aku juga tidak mampu menahan lebih lama lagi, lobang sempitnya membuat rasa nikmatku sangat tinggi juga mempercepat reaksiku untuk keluar, kupercepat sedikit pompaanku, dan akhirnya...Crooott...crooot....menyemburlah spermaku dengan kuat membasahi memiawnya, Yanti mengejang saat spermaku menyemprot kuat dalam lobang memiawnya. Aku lemas, kucari bibirnya, lama kami berciuman dengan hangat. Akhirnya kuhenikan ciumanku, kucabut tongkolku dan perlahan kubaringkan tubuhku di sampingnya.

Saat itu baru kulihat nampak sedikit bercak darah membasahi pahanya, juga membekas di pahaku, sedikit membasahi sprei. Baru kali ini aku melakukan hubungan dengan seorang perawan. memiawnya nampak memerah dan juga masih nampak bekas darah perawannya bercampur cairan putih spermaku. Aku segera turun mengambil handuk yang tergeletak di lantai. Kubantu Yanti menyeka dan membersihkannya.

”Yan, terimakasih telah memberikan aku milikmu yang paling indah dan berharga.”
”Aku senang Wan, aku tidak menyesalinya, akhirnya aku bisa memberikan milikku pada orang yang paling kucintai dan kusayangi.”

Lalu kami berpelukan dan berciuman kembali, setelahnya kami berbaring, penuh rasa bahagia. Yanti bilang padaku awalnya memang sakit, namun lama – lama ia menikmati dan merasa enak, ternyata rasanya begitu indah. Aku bilang ke dia, masih banyak rasa nikmat dan indah juga posisi dan gaya yang bisa kuajarkan. Yanti mencubitku gemas. Yanti mengajakku ke kamar mandi mencuci tongkolku dan memiawnya, lalu balik ke kamar lagi, kali ini Yanti meng-Oral tongkolku, kami lalu bermain seronde lagi. Setelah puas kami lalu mandi bersama dan bersiap menuju ke mama untuk menyampaikan kabar gembira rencana pernikahan ini.

Hari belum terlalu sore ketika kami sampai ke rumahku, nampak mama sedang membaca majalah di ruang tamu, mama tersenyum melihat kedatangan yanti, Yanti menghampiri memberi salam dan mencium mama. Mama menyuruh Yanti duduk, lalu mama ke dapur menyiapkan minuman dan makanan ringan. Tak lama mama kembali membawa 3 gelas minuman ringan dan cemilan. Setelah mama duduk juga, aku memulai pembicaraan.

”Ma, ada yang ingin kami bicarakan.”
”Ada apa Wan ?”
”Ma, hari ini aku sudah melamar Yanti, kami akan segera menikah, tinggal menunggu restu dari mama dan orangtua Yanti.”

Mama nampak kaget bercampur bahagia, Raut wajahnya amat senang. Sesaat nampak kesulitan berbicara karena rasa senangnya.

”Be..benarkah itu Wan, Yan...?”
”Iya tan...”
”Aduh...mama senang sekali mendengarnya. Tentu saja mama akan memberikan restu mama, bahkan memang sedari dulu mama berharap kalian cepat – cepat menikah. Wah...wah...banyak yang harus diurus dan dibicarakan nih.”
”Jangan terlalu repot, tan...”
”Aduh...Yanti, mulai sekarang kamu jangan manggil tante lagi dong, kamu harus panggil mama..sini kalian, mama bahagia sekali.”

Kami menghampiri mama, mama memeluk dan menciumi pipi kami dengan senang, air matanya menetes, juga Yanti, air mata bahagia. Sedang aku agak berkaca – kaca haru. Akhirnya setelah semua kembali tenang, aku memulai kembali pembicaraan.

”Ma..”
”Iya Wan, kenapa..?”
”Ma, nanti kita akan tinggal di sini seperti kata mama.”
”Iyalah...harus itu, mama akan marah kalau kalian sampai meninggalkan mama. Rumah ini lebih dari cukup kok untuk kita semua.”
”Terus ma, ada hal penting lainnya.”
”Hal apa Wan, kalau soal lamaran, resepsi, nentuin hari atau serah – serahan, nanti mama rembukan sama orang tua Yanti ya.”
”Bukan ma...bukan itu, ini soal kita. Soal hubungan kita.”

Mama nampak seperti membeku mendengar ucapan terakhirku, karena aku mengucapkannya di depan Yanti. Kulihat mama nampak terkejut sekali, mungkin ia pikir aku kok sampai ngomong hal kayak gini depan Yanti.

”Ma, Yanti sudah kuberitahu...tenang ma, mama dengar saja dulu ya. Aku memang menceritakan hal ini ke Yanti. Maaf ma, tapi aku harus, aku nggak bisa menikah tapi tak jujur. Aku percaya padanya maka aku berani menceritakan rahasia kita. Aku terpaks, karena aku tak mau mengakhiri hubungan kita. Aku percaya, mama pasti akan bilang tak apa kalau aku mau mengakhiri sat aku menikah dengan Yanti, tapi aku tak bisa, apalagi kita masih akan serumah. Juga aku yakin mama juga belum bisa mengakhirinya. Kalaupun mama bilang tak apa, itu karena untuk kebahagian aku dan Yanti, tapi mama sendiri berkorban. Aku tak mau hal itu, ma. Aku sayang dan mencintai mama dan yanti, tak akan bisa memilih salah satunya. Jadi aku ceritakan semuanya, sebelum mengajak Yanti menikah. Dia sudah tahu semuanya, segalanya dari awalnya. Dan dia bisa menerima itu.”

Mama masih diam, entah apa yang ia pikirkan, wajahnya campur aduk, tapi juga ada ekspresi malu pada wajahnya, mungkin malu pada Yanti. Yanti nampak menyadarinya, ia mendekat ke mama, memegang pundak mama.

”Ma, Yanti sudah diberitahu Irwan. Singkatnya memang awalnya Yanti kaget, namun setelah beberapa waktu memikirkan, Yanti bisa paham, mengerti dan menerima. Mama, Yanti tak keberatan kok, kalau setelah menikah nanti, Irwan tetap berhubungan sama mama. Yanti juga mau mama bahagia. Ma, mama jangan marah atau sedih apalagi malu, sungguh Yanti ikhlas dan bisa menerimanya. Kita tidak usah membahas atau berdebat lagi, keputusan Yanti sudah mantap.”

Mama nampak agak terguncang, lama ia diam, lalu ia memeluk Yanti dengan lembut dan penuh rasa sayang. Dibelainya rambut Yanti. Dikecupnya pipi Yanti.

”Yanti, sungguh...mama tidak tahu harus bicara apa lagi.”
”Sudahlah ma, sudahlah...tak apa.”
”Sungguh mama tidak mengerti jalan pikiran si Irwan, sejujurnya mama sudah siap mengakhiri hubungan kami kalau kalian menikah. Tapi Yan, sungguh besar hatimu.”

Akhirnya masalah paling penting telah selesai dan mendapatkan jalan keluar, semua karena Yanti yang berhati besar mau menerima hal ini. Setelah suasana kembali netral, mama kembali larut dalam euforia rencana pernikahan kami, ia menelepon kak Erni, yang dalam waktu setengah jam kurang sudah tiba di rumah dan membuat suasana jadi ramai.

Singkatnya, mama menjadi super sibuk 3 bulan ke depan. Mengumpulkan anggota keluarga, rapat, berunding. Diputuskan bahwa 1,5 bulan ke depan kami akan ke Semarang melamar Yanti, tentu saja orang tua Yanti senang juga dengan rencana pernikahan kami. Hubungan via telepon terus menerus terjadi. Mama meminta Yanti untuk tetap bekerja, karena mama sudah percaya dan juga senang dengan kerja Yanti selama ini. Aku juga tidak keberatan. Semua urusan lamaran, serah – serahan, dipusatkan di rumahku, seminggu sebelum hari lamaran, anggota keluarga besarku mulai berdatangan membantu dan juga sekalian bersilahturahmi. Akhirnya keluarga besar kami bertolak ke Semarang. Acara lamaran berlangsung lancar. Dari hasil rembukan, akad nikah ditetapkan 1 bulan lagi. Resepsinya di 2 kota. Semarang dan Jakarta. Tadinya aku dan Yanti maunya hanya di Semarang saja, biar tak capai, namun mama keberatan, katanya, ia tak akan mengadakan acara perkawinan lagi, aku yang terakhir, juga banyak relasi dan rekan bisnis kami di Jakarta. Tak ada salahnya diadakan di Jakarta juga. Akhirnya semua sepakat.

Menunggu hari perkawinan memang menegangkan. Memang aku tak sibuk mengurusnya, semua dihandle mama dibantu kak Erni dan tante Ani. Mama juga menyiapkan kamar untuk aku dan Yanti nantinya, perabotannya mama beli baru, katanya tempat tidur dan perabotan lamaku itu untuk bujangan, bukan untuk pengantin baru. Urusan gedung, undangan, seragam, beres. Setengah bulan sebelum hari H, Yanti pulang ke Semarang. Siap – siap dan juga dipingit kali hehehe.

Kadang di malam hari, aku jadi sulit tidur, biasanya aku duduk di dekat kolam renang, merokok sambil ngopi dan berpikir. Sudah semakin dekat babak baru kehidupan yang akan kutempuh, sambil mengingat perjalanan hidup yang telah kulalui. Hidupku, terlepas dari bisa diterima atau tidak oleh orang lain, sudah lengkap, apa yang telah kulalui, bagiku indah dan wajar, tidak ada yang aku rugikan. Lalu aku menemukan Yanti, belahan jiwaku, sosok yang menarik, penuh kecerian, kejutan, hidupku bahagia, setiap sel tubuhku selalu menginginkan dan mendambakannya. Dialah pelengkap hidupku. Biasanya kalau sudah selesi melamun, aku akan naik ke kamar mama, menggarap mama habis – habisan, belakangan ini memang permainan kami makin meningkat dan makin panas saja. Mungkin karena mama tahu bahwa sebentar lagi aku tak bisa sesering mungkin menemaninya. Tante Ani suatu hari bahkan menyempatkan menginap, tanpa membawa anaknya, dan kami habiskan hari itu bertiga, memacu gairah kami sampai puncak kenikmatan tertinggi. Pokoknya sampai 3 hari sebelum berangkat ke Semarang, benar – benar kering spermaku terkuras.

Akhirnya tibalah hari keberangkatan kami, kami serombongan besar menuju Semarang. Hari sakral itu tiba, Yanti nampak cantik sekali dan anggun dengan busana dan riasannya. Suasana menjelang akad nikah kulalui dengantegang dan khidmat, sungguh plong setelah akhirnya aku resmi menjadi suami Yanti, mama menangis bahagia, orangtua Yanti juga. Aku memeluk dan mencium pipi Yanti, kubisikkan di telinganya, aku bahagia, akhirnya bisa menikah dengannya. Yanti juga membisikkan hal yang sama. Aku pandangi wajahnya, ya...akhirnya aku menemukan pelabuhan hatiku.

Acara resepsi baik di Semarang dan Jakarta berlangsung meriah dan sukses. Keluarga, rekan, relasi, teman datang memberi restu dan ucapan selamat. Semua orang bilang betapa serasinya aku dan Yanti. Akhirnya segala hirukpikuk urusan pernikahan ini pun selesai. Semua lelah namun bahagia dengan hasilnya.

Kehidupan setelah itu berjalan terus...., kini aku dipercaya menjadi wakil mama, mama mulai mengurangi frewkensi kerjanya. Yanti tetap bekerja dan kini sedang mama persiapkan untuk mengepalai bagian keuangan saat pak Budi pensiun nanti. Kak Erni positif hamil, membuat kami semua senang. Bagaimana dengan kehidupan seks kami di rumah...? Tetap membara dan panas, yanti tentunya sudah pandai dan terbiasa, tentunya aku bilang kalau aku suka ia memelihara bulu keteknya dan juga tetap membiarkan rambut kemaluannya lebat, karena aku terangsang dan sangat gairah dengan tipe seperti itu, dan Yanti sebagai rasa sayang dan cintanya menuruti mauku. Kehidupan seks kami amatlah membara dan bergairah, kami saling membutuhkan dan berusaha memuaskan satu sama lain.

”Ahhh...Awww....terus....yang...”
”Sssshh....ennnaaakkkkk....”
”Dikiiittt......lagi.....”

Yanti mendesah dan menarik rambutku, sementara jari dan lidahku beraksi memainkan memiaw dan itilnya. Kakinya makin lebar ia kangkangkan. Itilnya terasa besar dan pas sekali saat dimainkan oleh lidahku. Jari tengahku dengan lancar menyodok memiawnya. Kombinasi kenikmatan yang membuat Yanti kelojotan dan terus mendesah. Itilnya tanpa henti kugoyang ke kiri – kanan, atas – bawah, membuatnya merem melek. Tak butuh waktu lama, ia mengejang dan mengalami orgasme. Kini giliranku, Yanti segera menghampiri tongkolku, tangannya mulai meremas dan mengocok tongkolku lembut, sesekali ia mainkan lobang pipisnya dengan ujung jempolnya. Lalu lidahnya dengan ganas mulai menjilati kepala tongkolku, mengemutnya dengan kuat dan nikmat, sementara batang tongkolku ia kocok dengan lembut. Sesekali tangannya ikut memijat bijiku. tongkolku pasrah diemut dan dihisap oleh mulutnya, cepat dan halus sekali tekhniknya, hanya kenikmatan yang kurasa, membuat seakan melayang. Lidahnya sangat nakal sekali, menggelitik titik – titik kenikmatan pada tongkolku. Untunglah daya tahanku termasuk prima kalau tidak bisa ngecret terus tiap diemut Yanti. Akhirnya aku merasa cukup dan segera memberi tanda agar Yanti bersiap untuk kusodok.

Aku berbaring di samping Yanti, dia segera mengangkat satu kakinya ke atas, kepalanya bersandar di satu tanganku, sambil mencium bibirnya, kumajukan pinggulku, mulai memasukkan tongkolku....Blesss...enak banget....tongkolku menghujam lobang memiawnya dengan lancar, hangat dan sempit, segera kumulai pompaanku, tanganku yang satu mulai jahil meremas teteknya, makin besar saja rasanya tetek Yanti saat ini, mungkin karena sudah sering kujamah hehehe. Yanti mengangkat satu tangannya, mempertontonkan bulu keteknya segera kuciumi dan kujilat dengan lidahku, tongkolku kuhujamkan sedalam mungkin, saat menarik keluar sengaja aku tarik sampai batas kepala tongkolku, menggelitik itilnya, membuatnya mendesah kegelian. Sesekali tangan Yanti mengelus dan membelai bijiku. Pompaanku makin kupercepat, remasanku pada teteknya semakin kuperkuat, terasa putingnya yang keras. Cukup lama sudah aku memompa memiawnya, desahan, rintihan, keringat kami bercampur menjadi satu menghiasi kenikmatan yang sedang kami lakukan. Akhirnya terasa denyutan pada tongkolku, tak perlu waktu lama menyemburlah spermaku, membuatku mengejang dan mendesah pelan. Setelah diam sejenak, aku cabut tongkolku, mencium Yanti sebagai terimakasihku atas kenikmatan yang sudah ia berikan. Yanti tersenyum padaku.

”Mudah – mudahan aku cepat hamil ya, yang...”
”Semoga saja, usaha kita sudah lebih dari maksimal banget sih hehehe...”
”Huh...nakal deh kamu, aku capek nih, mau tidur dulu, habis kamu nggak puas sih kalau Cuma seronde doang...”
”Ya...kan kamu juga ada andil, tubuh kamu terlalu menggoda sih, ya sudah kamu istirahat dulu deh. I love You, Yanti.”

Yanti pun tersenyum, lalu memejamkan matanya, mungkin benar – benar capek, karena baru saja 3 ronde kugarap, hanya istirahat sebentar. Tak lama ia terlelap, akupun bangkit dari tempat tidur, kubuka pintu kamar, ke dapur dulu, minum biar segar. Lalu aku naik kembali ke atas, menuju kamar mama, kubuka pintunya, kulihat mama sudah terlelap, hanya memakai baju tidur mini, namun aku tahu kalau sudah dijahili, mama pasti suka. Segera aku naik ke ranjangnya, melebarkan perlahan kakinya. Dan selanjutnya.....sudah tahu kan...? Ya..begitulah rutinitasku sekarang, Yanti, Mama, keduanya dapat memiliki dan kumiliki, kami saling mengerti dan memahami.

Untuk menghormati dan menghargai pengertian Yanti, maka aku tidak pernah ke kamar mama sebelum Yanti tidur. Biasanya setelah aku selesai menggarap Yanti dan Yanti sudah tidur, baru aku ke kamar mama. Dan akan kembali lagi ke kamarku sebelum Yanti bangun. Itupun juga tidak terlalu sering. Kami tidak pernah 3Some. Terlalu muluk menurutku, aku yakin mama pasti tak akan mau. Baginya pengertian Yanti saja sudah teramat berarti, tak perlu ditambah yang macam – macam lagi. Mama sendiri juga tak terlalu menuntut aku harus meladeninya tiap malam, yang penting frewkensiku masih tetap tinggi untuknya.

Hubunganku dengan kak Erni dan Tante Ani sendiri masih berlanjut, walau tak terlalu sering, hanya kalau kami sedang mau dan kangen saja, juga situasinya memungkinkan. Yanti sendiri tak pernah tahu atau curiga kalau aku juga menggarap mereka. Bagaimana dengan tante Vera...? Akhirnya ia memang mendapatkan yang ia mau, ia mempunyai keturunan. Sesekali ia ada urusan ke Jakarta, dan setiap ia di Jakarta ia akan menelepon aku, untuk sekedar bernostalgia melakukan hubungan. Kak Erni juga sudah mempunyai satu anak, perempuan, anaknya lucu dan mirip suaminya. Oh ya, waktu kak Erni hamil, aku lumayan sering begituan sama dia, karena aku suka sekali melakukannya dengan wanita yang hamil, rasanya ada beda spesial tersendiri, dan juga kak Erni memang mengakui saat hamil ia memang jadi doyan begituan, mungkin akan kuceritakan di lain kisah.


PENUTUP DARI KISAH YANG PANJANG INI....

Waktu memang tak bisa dihentikan, berlalu tanpa terasa, usia perkawinanku sudah memasuki tahun ke 3, perkawinan yang harmonis dan bahagia. Usiaku kini 27, Yanti 31, mama 47. Kini aku menjadi orang nomor satu di Perusahaan, menggantikan mama, yang memilih menjadi komisaris, datang hanya sesekali saja di kantor. Yanti menjabat sebagai Direktur Keuangan, Kak Erni mengepalai SDM dan Operasional. Roda bisnis Perusahaan kami berjalan dengan baik dan terus berkembang, tak ada masalah berarti. Di sisi kehidupan berkeluarga, aku dan Yanti akhirnya memiliki anak pertama, laki – laki, sekarang usianya 1 tahun, menggemaskan dan tampan sekali, yang bisa membuat mama betah di rumah, mama sangat sayang sekali pada anak kami, bahkan bisa dibilang memonopoli perawatannya, walaupun kini di rumah kami memakai pembantu dan baby siter yang tinggal di rumah. Boleh dibilang kebahagian dan hidupku sudah lengkap.

Aku masih tetap menjalani hubungan dengan mama, hanya sudah berkurang frewkensinya, juga harus jauh lebih hati – hati karena kini di rumah ada pembantu dan baby sitter yang tinggal. Sampai saat ini aku tetap tidak mau memikirkan terlalu mendalam, apakah perbuatanku dan mama benar atau salah, baik atau buruk, biarlah...itu akan selalu menjadi tanggung jawab kami sendiri, bagiku apa yang sudah kujalani adalah indah dan membahagiakan satu sama lain, kami menyadari dan menikmatina, tak ada yang dirugikan, jadi cukup itu saja peganganku.

Sedangkan Yanti sendiri....? Selain mama, Yanti adalah hal terbaik yang pernah terjadi dlam hidupku, hidupku lengkap dengannya, kami melewati sedih, bahagia, suka dan duka dengan saling memahami dan mengerti. Kami saling menerima dan memberi, kadang tingkat pengertian kami tak perlu diucapkan dengan kata lagi, hanya dengan salng memandang sudah cukup, Yanti adalah cinta pertama dan terakhirku, selalu menjadi yang terbaik, Yanti adalah dermaga yang tenang yang akan selalu menjadi pelabuhan hatiku.


---- TAMAT ----