Udin Namaku (3)

Entah berapa kali dalam seminggu itu aku berhubungan badan dengan Bu Rina, tidak bisa dihitung sepertinya. Tidak pagi, siang, atau malam pokoknya kalau mau langsung saja kita berhubungan badan. Tidak hanya kebutuhan batin ku saja yang terpenuhi Bu Rina pun selalu menyiapakan makanan dan mengurus keperluanku.
Setelah suaminya pulang kami tak lantas berhenti berhubungan badan, pada siang hari kami selalu mencuri-curi waktu untuk saling memuasakan birahi. Bukan hanya birahi, rasa sayang pun kian menjadi bahkan menjadi cinta. Tak jarang juga saat Bu Rina sedang dengan suaminya timbul rasa cemburu di dadaku. Mungkin ini terlarang, bahkan dosa, namun semua itu seakan sirna saat tubuhku dan tubuh Bu Rina bersatu. Aku sudah seperti suaminya di siang hari dan kalau suaminya sedang tugas keluar kota dia menganggapku suami sepenuhnya. Hubangan sembunyi-sembunyi ini terus kami lakukan sampai aku lulusnya kuliah.
Setelah aku lulus tak ada lagi alasanku untuk menetap di kost-an Bu Rina. Aku pun tak ada lagi alasan untuk mengujunginya mungkin nanti bisa menimbulkan kecurigaan. Namun hubunganku dengan Bu Rina tidak sepenuhnya terputus. Kami masih suka bertemu melepas kerinduan yang selalu dituruskan dengan melepas birahi dengan bercinta. Mungkin hanya dua minggu sekali atau pada situasi yang memungkinkan, namun karena frekuasi yang berkurang itu menjadikan hubungan seks kami semakin ternikmati.
Asap mengepul dari mulutku setelah rokok kuhisap. Sudah hampir 15 menit aku duduk menunggu di depan hotel melati murahan di kota Bandung. Dari arah gerbang hotel datanglah sosok yang sudah aku dari tadi. Wanita dengan baju muslim lengkap dengan jilbabnya dengan tas kecil ditentengnya. Tanpa keluar sepatah katapun kami langsung menuju kamar di belakang yang sudah aku pesan tadi. Setelah masuk kamar pintu langsung aku kunci, kami langsung berpelukan. Hampir 5 menit lebih kami berpelukan erat. Rasa rindu yang menggebu du insan yang saling mencinta bersatu dalam sebuah pelukan. Ku kecup keningnya.
“Kangen say…” kata itu yang pertama terucap dari mulutku.
“Sama…” Bu Rina menjawab lirih.
Hampir sebulan kami tidak bertemu. Suami Bu Rina telah pensiun dan juga merka berlibur ke luar kota.
“Ga ilang juga…”
“Ilang apanya?” Bu Rina Bertanya.
“Cantiknya…”
“Ah bisa aja sih say.. kumu gimana kabarnya?” Bu Rina balik bertanya.
“baik”
“kalau dede nya?”
“Hmmm… kangen yah ma dede nya…” kucubit pipinya
Saat itu juga kami langsung berpelukan. Bibir kami menari-nari saling melumat, lidah kami bergumul dengan hebat nya dan ludah kami bercampur. Tanganku mulai meraya menuju gundukan daging di dada nya. Dengan penuh nafsu kuremas payudara itu. Tangan Bu Rina pun tak mau kalah, diremas-remasnya pula tonjolan di celanaku, yah penis ku yang telah bangun dan minta dikeluarkan dari celana.
Satu per satu kami saling melepas pakaian sampai kami telanjang bulat. Dari mulut bibirkupun terus menjilati pipinya, telinganya, lehernya payudaranya. Di daerah payudara jilatanku cukup lama, kumainkan putting coklat Bu Rina yang sudah mengeras. Desahan terus keluar dari mulut Bu Rina yang manis tipis. Jilatan lalu kuterukan ke perutnya, di pusarnya lidahku menari-nari. Dan semakin ke bawah menuju bulu rambut kemaluan Bu Rina. Seolah mengerti Bu Rina membukakan kakinya sehingga terlihatlah vaginanya. Tercium aroma khas yang menyengat namun aroma itu lah yang aku rindukan. Lidahku terus berkelana klitorisnya yang menyembul menjadi sasaran selanjutnya. Keras terasa dilidahku, semakin menggeliat pula tubuh Bu Rina saat lidahku menyentuh klitorisnya. Selanjutnya lubang vagina, lidahku menari-nari masuk keluar lubangnya. Kugigit juga bibir vagina Bu Rina yang seperti jengger pada ayam. Hampir 5 menit lidahku menari-nari di daerah vagina, dan akhirnya sampai juga pada moment yang kutunggu-tunggu. Yah, Ibu Rina orgasme. Ada perasaaan bahagia, senang, bangga saat aku bisa membuat Bu Rina orgasme.
“Aku udahh keluar saaayyyaaanggghhh…” Bu Rina berbisik lirih dengan nafas yang belum teratur.
Bu Rina lalu beranjak bangun, dan mengerti dengan tugasnya selanjutnya. Sambil berlutut diisapnya penisku dengan lahap. Hampir semua penisku dijelajahi dengan lidahnya dan buah zakar ku pun dikulum di mulutnya.
“Terus sayang…” ucapku.
Bu Rina semakin cepat dengan kulumannya. Yah aku sudah horny, lalu segera kutidurkan terlentang kembali Bu Rina, tanpa basa-basi langsung kutancapkan penisku ke vagina nya..
“AAahhhh… “ Bu Rina merintih saat masukan penisku ke vaginanya.
Kuangkat kaki Bu Rina ke pundak ku, aku tahu posisi itu lah yang paling disukai oleh Bu Rina, katanya penetrasinya lebih terasa. Setahap demi tahap kocokanku semakin kecang, demikian pula dengan desahan Bu Rina.
“Aaaaaahhhhhh,,,,, aku mau keluar lagi sayang….”
Mendengar itu semakin cepat pula kocokan ku….
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH HHHHHHGGGGGGGGGAG…….” Tubuh Bu Rina menggeliat kencang, tangannya meremas kain seprei dan aku tau dia dah orgasme lagi..
“hah.. hah.. hah..” nafasnya masih belum beraturan namun tidak aku beri kesempatan berlama-lama. Aku segera membangunkannya dan meminta berganti posisi.
Kini aku yang terlentang, Bu Rina langsung menaiki ku dan menuntun masuk penisku ke vaginanya. Seperti anak kecil yang menaiki kuda Bu Rina terus mennggenjotku. Payudaranya yang sudah sedikit kendur ikut bergoyang naik turun mengikuti irama. Sambil sesekali membetulkan rambutnya yang terurai mulut Bu Rina tak berhenti mengeluarkan desahan. Tanganku pun ikut aktif memainkan klitoris untuk menambah kenikmatnya. Dan hanya 5 menit berselang orgasme ketiga nya tercapai.
“Aaaaaaahhhh… niikkkmaattt ssaaayyyanngggh…”
Tubuh Bu Rina terkulai lemas di atasku, penisku masih berada di dalam vagina Bu Rina, kupeluk dia, kuciumi pipinya. Berbisik Bu Rina di telingaku.
“Anal yah sayang…”
Aku hanya mengangguk menyetui permintaannya. Bu Rina langsung menungging, lubang pantatnya sekarang sudah longgar dan tidak serapat dulu sehingga tidak perlu waktu lama. Penisku pun sudah berada di dalam pantat Bu Rina.
“Nikmat sayang.. teruuuuss… Aku milikmu…”
Kalau sudah anal memang bukan hanya desahan, namun mulutnya pun tak berhenti meracau.
“Pukul pantatku… pliiissss….”
Plak.. Plak… Plaaaak… Kupukul dengan telapak tanganku pantat Bu Rina yang montok itu, warna putih mulus pantatnya kini berubah menjadi memerah…
“Kurang keraaas sayang… yang keras pukulnya… yang lebih keras….”
Pllllaaaaaaakkkk… Plllaaaakkk… semakin keras pukulanku dan semakin kencang juga kocokanku di pantatnya…
“AAaaahhhhhhkkkk….” Bu Rina menjerit “Akuu keluaarrr….”
“Aku jugggaaaaa… ..”
Crot.. crot.. crot.. croott…
Sperma ku pun menghujam di dalam pantat Bu Rina dan saat ku keluarkan penisku nampak spermaku berceceran keluar dari lubang pantatnya. Bu Rina tengkurap lemas dan aku pun terbaring terlentang di sampingnya. Untuk beberapa saat kami terdiam dalam capek. Ku sibakan rambutku hendak mencium pipinya, namun aku terkaget ketika melihat air mata menetes dari mata Bu Rina.
“Kenapa menangis?” tanyaku heran
“Ini untuk yang terakhir kali ya sayang”
“Kenapa terakhir?” Aku semakin heran, apa dia sudah bosan? “Ibu udah ga menginginkan aku lagi?”
“Ngga.. aku sayang kamu, aku cinta kamu, tapi ini harus” tangisannya menjadi “Aku akan pindah ke makasar”
“Tapi aku ga mau pisah” Aku tidak bisa menerima keputusannya “Kenapa??”
“Aku cinta kamu din, tapi aku ga mau menghancurkan hidup kamu, masa depan kamu, selamanya kita tidak mungkin bisa bersama”
Aku hanya tertegun, hatiku hancur berkeping-keping..
“Selamanya aku cinta kamu din.. maafkan aku…”